HUKUM
ACARA PERADILAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
Oleh : Prof. Dr. Yusril
Ihza Mahendra
mahkamah
konstitusi republic Indonesia adalah lembaga (tinggi) Negara yang baru dan
sederajat serta sama tinggi kedudukannya dengan mahkamah agung (MA), menurut
ketentuan undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun1945 pasca
perubahan keempat, dalam struktur kelembagaan republic Indonesia terdapat
(setidaknya) 9 (Sembilan) buah organ Negara yang secara langsung menerima
kewenangan langsung dari undang-undang dasar, kesembilan organ tersebut adalah
:
(i)
Dewan perwakilan rakyat
(ii)
dewan perwakilan daerah
(iii)
majelis permusyawaratan rakyat
(iv)
Badan pemeriksa keuangan
(v)
presiden
(vi)
wakil presiden
(vii)
mahkamah agung
(viii)
mahkamah konstitusi dan
(ix)
komisi yudisial
disamping
kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang
diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu :
A. kepolisian
republic Indonesia
B. pemerintahan
daerah
C. tentara
nasional Indonesia
D. partai
politik
mahkamah
konstitusi dapat dikatakan berada pada kedudukan yang sederajat dan sama tinggi
dengan mahkamah agung, mahkamah konstitusi dan mahkamah agung sama-sama
merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman(judiciary), yang merdeka dan
terpisah dengan cabang kekuasaan lain yaitu pemerintah (executive) dan lembaga
permusyawaratan perwakilan (legislative), kedua mahkamah ini sama-sama
berkedudukan hukum di ibukota Negara republik Indonesia, hanya struktur kedua
organ kekuasaan kehakiman ini berbeda sama sekali satu sama lain, mahkamah
konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak
mempunyai struktur organisasi sebesar mahkamah agung yang merupakan puncak
system peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertical dan horizontal
mencakup lima lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan
peradilan militer.
pembentukan mahkamah konstitusi sendiri,
dianggap perlu dilakukan saat itu mengingat perubahan mendasar atas UUD 1945
dari perubahan pertama hingga perubahan keempat UUD 1945,bahwa bangsa kita
telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam system ketatnegaraan yaitu
antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan check and balances, sebagai
pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya, sebagai akibat
perubahan tersebut maka perlu diadakan mekanisme untuk memutus kewenangn yang
mungkin terjadi antar lembaga yang satu sama lain sederajat, yang kewenangannya
diatur dalam UUD, perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat
mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan
diri pada prinsip “the rule of majority”, karena itu, fungsi-fungsi judicial
review atas konstitusionalisme undang-undang dan proses pengujian hukum atas
tuntutan pemberhentian terhadap presiden dan atau wakil presiden dikaitkan
dengan fungsi MK, disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk
memutuskan berbagai persengketaan yang timbul, yang tidak dapat diselesaikan
melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan
pembubaran suatu partai politik, perkara-perkara semacam ini berkaitan erat
dengan hak dan kebebasan para warga Negara dalam dinamika system politik
demokratis yang dijamin oleh UUD, sehingga MK lah menanggung kewenangan
tersebut,
HAK
UJI MATERIIL DAN FORMIL
Pengertian
hak menguji terlebih dahulu diposisikan terhadap istilah atau term dari
judicial review itu sendiri, sebab ahli hukum pada umumnya acapkali terjebak
dalam penggunaan istilah constitutional review , judicial review dan hak
menguji (Toestingsrecht), konsepsi judicial review hadir dalam kerangka objek
yang lebih luas dibandingkan dengan konsep constitutional review, yang hanya
sebatas pengujian konstitusional suatu aturan hukum terhadap konstitusi (UUD),
sedangkan judicial review memiliki objek pengujian yang lebih luas, bisa
menyangkut legalitas peraturan dibawah UU terhadap UU, tidak hanya sekedar UU
terhadap UUD, akan tetapi pada segi subjek pengujinya, makna judicial review
mengalami penyempitan sebab judicial review hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme peradilan (Judiciary), yang dilaksanakan oleh para hakim sedangkan
sedangkan jika constitutional review dapat dilaksanakan olwh lwmbaga peradilan
(judicial review), lembaga legislative(legislative review), lembaga
eksekutif(executive review) atau lembaga lainnya yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungis tersebutm pemberian hak uji inilah yang menjadi pengertian
dari Toetsingsrecht , judicial review hanya
berlaku jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan
umum (general and abstract norms) secara “a posterior” artinya norma hukum
tersebut telah diundangkan oleh pembentuk undang-undang,
apabila
diartikan kata per kata tanpa mengaitkannya dengan system hukum lain maka dapat
diartikan sebagai berikut:
1. Toestingsrecht
Toesting
(menguji dalam bahasa belanda), Recht (hukum / hak), Toestingrecht berarti hak
dan kewenangan untuk menguji tergantung kepada system hukum di tiap-tiap Negara
masing-masing untuk diberikan kepada siapa atau lembaga mana, (orientasinya
ialah ke constitutional eropa/belanda & jerman), hak menguji
(toestingsrecht) baik dalam kepustakaan maupun praktek dikenal adanya dua macam
hak menguji (toestingrecht) yaitu :
A. hak
menguji formal (formele toestingsrecht) : wewenang untuk menilai suatu produk
legislative seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara
sebagaimana telah ditentukan / diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau tidak, pengujian formal terkait dengan masalah prosdural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya,
hak
menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu prduk legislative
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah di tentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak, contohnya : undang-undang adalah produk yang dibentuk
oleh dewan perwakilan rakyat (pasal 20 amandemen UUD 1945), Presiden berhak
untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada dewan perwakilan rakyat dan
setiap rancangan undang-undang akan dibahas bersama untuk memperoleh
persetujuan bersama (Pasal 5 Jo 20 ayat (2) amandemen UUD 1945), Jadi setiap
undang-undang haruslah melalui prosedur tersebut agar sah menjadi
undang-undang,
B. Hak
menguji material (material Toestingrecht) : suatu wewenang menyelidiki dan
menilai apakah isi suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya (lex superior
derogate lex inferiori), serta apakah suatu kekuasaan tertentu (Verordenende Macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, pengujian material berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain
yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan norma-norma yang berlaku umum,
“
menurut Prof. Harun Alrasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur
pembuatan undang-undang dan hak menguji material ialah mengenai kewenangan
pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang
kedudukannya lebih tinggi ”
jadi
pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan yaitu
agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarchi
jauh lebih tinggi, dan yang paling utama ialah agar peraturan
perundang-undangan dibawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai “supreme
of law” dalam hal ini, agar UUD terproteksi, maka keberadaan hal menguji
materiil sebagai bagian dari “the guarantees of the constitution”,
bahwa
UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan
setiap peraturan perundang-undangan dibawahnya, secara a contrario peraturan
perundang-undangan dibawah UUD tidak boleh menyimpangi , bertentangan atau
tidak konsisten dengan UUD, keberadaan hak menguji materiil pada hakekatnya
berupa alat control atau pengendali terhadap kewenangan suatu peraturan
perundang-undangan , jika ada pendapat yang menyatakan hak menguji materiil
berkaitan dengan konsep trias politica maka hal tersebut adalah suatu
kekeliruan, karena berdasarkan konsep “trias politica” khusunya konsep
“separation of power” , fungsi suatu badan tidak dibenarkan melakukan
intervensi terhadap badan kekuasaan lain, bahwa hak menguji materiil adalah
koreksi terhadap konsepsi “separation of power” yang keberadaannnya lebih
relevan digantikan dengan konsepsi “check and balances”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar