Qomum
Al-Biah
Environment
law / MillieRecht
Original Writter by : Gusti D Hedwic
All my tribute it present to : Dwi Nur Fauziah SH.MH (Dosen pengampu Hukum Lingkungan)
BAGAIMANA
ISLAM ?
MEMANDANG
ALAM DAN PENCEMARAN TERHADAPNYA
Islam
mengajarkan hidup selaras dengan alam, tak sedikit ayat dalam alquran maupun
terkandung dalam hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup, adalah Prof.
KH. Ali yafie yang mengungkapkan tentang pemaparan Fiqh al Bi’ah yaitu mengenai
menjaga lingkungan hidup / alam, sebagaimana QS. Al- A’raf /7:56 :
“
janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya,
berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap
(akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat allah sungguh dekat dengan orang-orang
yang berbuat baik “
Disampaikan
oleh beliau bahwa terdapat dua indikator dalam ajaran islam, dua kutub dimana
manusia hidup, yang pertama adalah Rabbul’alamin, islam mengajarkan bahwa Allah
SWT ialah tuhan semesta alam, jadi bukan sekedar tuhan atas manusia atau
sekelompok manusia, bukan itu, dari awal manusia yang bersedia mendengarkan
ajaran islam, sudah dibuka wawasan atasnya bahwa allah adalah pencipta ,
penguasa dan yang mengatur seluruh alam, dimana manusia sebagaimana difirmankan
memikul tanggung jawab sebagai khalifah, sebuah tanggung jawab yang bahkan tak
disanggupi oleh Hamba allah dari golongan lainnya,
Kutub
kedua ialah rahmatan lil’alamin, bahwa manusia dengan ajaran islam ialah rahmat
bagi seluruh alam, yang mana sebagaimana disebut jika manusia adalah khalifah
yag seharusnya memikul dengan amanat untuk menjaga bumi, alam beserta ekosistem
yang ada, “Laa tufsidu ardhi ba’da ishlahiha (jangan merusak alam ini sesudah
ditata sedemikian baik)”,
Dalam pemikiran tentang Fiqh al
bi’ah maka hal pertama yang perlu dipahami ialah makna khalifah, kedudukan
manusia sebagai khalifah dengan segala tanggung jawab yang seharusnya
dijalankan dengan amanah, dalam alquran memang ditegaskan bahwa manusia sebagai
khalifah tidaklah seharusnya melakukan perusakan dan pertumpahan darah tetapi
untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera dan penuh keadilan, dengan
demikian , manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi secara tidak langsung
telah mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (Qs.Al-Baqarah/2:30), walaupun
alam diciptakan untuk kepentingan manusia (Qs.Luqman/31:20) tetapi tidak
diperkenankan menggunakannya secara semena-mena, sehingga perusakan terhadap
alam merupakan bentuk pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) allah, dan
akan dijauhkan dari rahmatnya (Qs. Al-A’raf/7:56), karena itulah pemahaman
bahwa manusia sebagai khalifah berhak semena-mena jelas tidak memiliki sandaran
teologisnya, segala bentuk perusakan terhadap alam tetap tidak di benarkan,
sebab alam diciptakan dengan cara yang benar (Bi al-haqq, Qs.al-zumar/39:5),
tidak main-main (La’b, Qs.Al-anbiya), dan tidak secara palsu (Qs.shad/38:27).
Dijelaskan pula oleh yusuf
Qardawi dalam Ri’ayah al Bi’ah fiy syari’ah al-islam (2001) bahwa memelihara
lingkungan sepertihalnya menjaga lima tujuan dasar islam (maqashid al
syari’ah), sebab kelima tujuan tersebut bisa ter-ejawantahkan jika lingkungan
dan alam semesta mendukung keadannya
A. Terminologi
Hukum Lingkungan
Sebelum
jauh membicarakan mengenai hukum lingkungan perlu kiranya diungkapkan mengenai
pengertian dari hukum lingkungan itu sendiri, Hukum lingkungan merupakan
terjemah atau serapan dari beberapa istilah asing yang telah ada sebelumnya
yaitu Environmental law dalam bahasa inggris, Millieerecht ( Belanda),
Lenvironnement (Prancis), umwelrecht (Jerman) , Qomum al-biah (Arab),
Kata
hukum lingkungan hidup secara terminology dapat dipisahkan menjadi hukum dan
lingkungan yang masing-masing memiliki pengertian berbeda , pengert ian Hukum
dalam kamus hukum ialah keseluruhan kumpulan peraturan dimanatiap-tiap orang
wajib mematuhinya , suatu sistem yang mengatur tingkah laku
manusia dalam masyarakat atau bangsa ; undang – undang, ordonansi atau
peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ditanda tangani ke dalam undang –
undang, law (ing), recht (bld).
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dikenal
istilah lingkungan yang artinya sekeliling, sekitar, selingkung, seluruh suatu
lingkaran, daerah dan sebagainya. Sementara dalam kamus hukum, istilah yang
dikenal adalah lingkungan hidup yang artinya adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya, Istilah ini dikenal dalam hukum
lingkungan.
Menurut Gatot. P. Soemartono, hukum
adalah keseluruhan peraturan mengenai tingkah laku manusia yang isinya tentang apa
yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat,
yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi leh
pihak yang berwenang. Maka dari pengertian tersebut, hukum lingkungan adalah
keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang
seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut
dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.
Hukum lingkungan menurut ST. Munadjat
Danusaputro[5] adalah hukum yang mendasari
penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan
lingkungan. Beliau membagi hukum lingkungan menjadi 2 (dua) yakni :
1. Hukum
Lingkungan Klasik
Hukum
lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma – norma guna menjamin
penggunaan dan eksploitasi sumber – sumber daya lingkungan dengan berbagai akal
dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin dan dalam jangka
waktu singkat.
2. Hukum
Lingkungan Modern
Hukum
lingkungan menetapkan ketentuan dan norma – norma guna mengatur perbuatan
manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan
kemerosotan mutunya demi menjamin kelestariannya agar dapat berlangsung secara
terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi – generasi
mendatang.
Koesnadi Hardjasoemantri senada dengan
pendapat di atas, dia juga membagi hukum lingkungan menjadi 2 (dua) yakni hukum
lingkungan klasik dan hukum lingkungan modern. Menurut dia, hukum lingkungan
modern berorientasi pada lingkungan atau environment – oriented law dan
hukum lingkungan klasik berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use
– oriented law. Hukum lingkungan modern yang berorientasi pada lingkungan
memiliki sifat utuh – menyeluruh atau komprehensif – integral, selalu dalam
dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. Sebaliknya hukum lingkungan
klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah.
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa
sistem pendekatan terpadu atau utuh menyeluruh harus diterapkan oleh hukum
untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik. Sistem
pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
Bidang hukum satu ini merupakan suatu sistem
atau norma masyarakat yang mengatur interaksinya dengan lingkungan. Hukum
lingkungan dalam hukum positif di Indonesia adalah salah suatu cabang hukum
yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Disiplin
ilmu ini lahir sejalan dengan perkembangan lingkungan hidup yang mengalami
banyak persoalan sehubungan dengan pembangunan.
Keberadaan hukum lingkungan menurut N.H.T
Siahaan, merupakan sarana penting untuk mengatur perilaku – perilaku
manusia terhadap lingkungan dan segala aspeknya, supaya tidak terjadi
pengrusakan, gangguan dan kemerosotan nilai – nilai lingkungan itu karena
secara empiris pembangunan menjadikan alam sebagai alat pemuas mencapai
pertumbuhan dan kesejahteraan. Pembangunan “memangsa” lingkungan dan sumber –
sumber alam, sehingga lingkungan dan keserasian alam cenderung mengalami
kerusakan atau kemerosotan. Disamping itu, kehadirannya erat kaitannya dengan
kecendrungan prilaku manusia dengan sesamanya yang kurang harmonis. Dan
demikian pula terhadap lingkungan hidup. Disatu pihak, ada manusia yang saling
bersengketa dengan sesamanya karena memperebutkan suatu sumber daya, mungkin
karena keterbatasan atau kesamaan kepentingannya atas suatu obyek lingkungan
tertentu, dan mungkin juga karena interaksi manusia terhadap lingkungan tidak
lagi terkendali sehingga mengakibatkan lingkungan merosot atau rusak. Karena
manusia hakikatnya adalah manusia yang mencintai kebersamaan demi hidup dengan
sesama, maka diaturlah bagaimana supaya alam lingkungannya tetap baik dengan
pertama memperbaiki hubungan antar sesama.
Hukum lingkungan menurut Takdir
Rahmadi sebagai suatu disiplin ilmu hukum yang memiliki karakteristik yang
khas terutama bila dikaitkan dalam bidang hukum publik dan privat. Kekhasannya
terletak pada substansinya atau kepentingan – kepentingan tercakup di dalamnya
sangat luas dan beragam sehingga hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada
salah satu di antara kedua bidang hukum tersebut.
Sementara Drupsteen dalam Koesnadi
Hardjasoemantri mengatakan hukum lingkungan adalah hukum berhubungan
dengan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas – luasnya. Ruang
lingkupnya berkaitan erat dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup
pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan
dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar
terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurs – recht). Disamping hukum
lingkungan pemerintahan (bestuurs - natuurlijk milieurecht) yang
dibentuk pemerintah pusat, ada juga yang berasal dari pemerintah daerah, dan
sebagian dibentuk oleh badan – badan internasional atau perjanjian – perjanjian
dengan negara – negara lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan
keperdataan (privaatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan
ketatanegaraan(staatrechtelijk milieurecht), hukum
lingkungan kepidanaan (straftrechtelijk milieurecht).
Tentu sepanjang hal tersebut memuat hal yang
bertalian dengan pengelolaan hukum lingkungan, dimana menurut Koesnadi
Hardjasoemantri terdapat 6 aspek dalam hukum lingkungan :
1.
Hukum tata lingkungan
2.
Hukum perlindungan lingkungan
3.
Hukum kesehatan lingkungan
4.
Hukum pencemaran lingkungan
5.
Hukum lingkungan transnasional / internasional
6.
Hukum sengketa lingkungan
Dimana
berkaitan dengan itu berdasarkan UUPLH Pasal 2 mengemukakan bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada beberapa asas yaitu :
1.
Tanggung jawab Negara
2.
Kelestarian dan keberlanjutan
3.
Keserasian dan keseimbangan
4.
Keterpaduan
5.
Manfaat
6.
Kehati-hatian
7.
Keadilan
8.
Ekoregion
9.
Keanekaragaman hayati
10.
Pencemar membayar
11.
Partisipatif
12.
Kearifan local
13.
Tata Kelola pemerintaha yang baik
14.
Otonomi daerah
Ketika kita bicara
tentang hukum lingkungan maka hal yang menjadi permasalahan ialah segala
sesuatu yang mengancam eksistensi dan keberlangsungan kelestarian lingkungan
dimana tokoh yang menjadi dalang sudah pasti adalah manusia itu sendiri,lantas
tidakkah kita bertanya sejak kapankah pengertian dan ide kepedulian terhadap
lingkungan itu ada ? atau bagaimana itu terbersit sehingga manusia merasa perlu
untuk mengatur secara tertulis dan menjadikannya hukum semata-mata demi
melindungi alam/ lingkungan hidup ?,
Tidakkah setiap hal yang terjadi pada era kita kini
tak terlepas dari bagaimana alur sejarah yang telah lalu terjadi ? untuk itulah
kita akan coba untuk membahas lebih lanjut perihal titik nadir awal hukum
lingkungan ini mulai menjadi focus dan perhatian dalam realisasinya oleh umat
manusia yang notabene adalah untuk mengekang dan mengatur diri mereka sendiri
yang merupakan tokoh potensial secara sadar atau tidak, dapat saja melakukan
hal-hal yang mengancam eksistensi dan keberlangsungan lingkungan hidup mereka
sendiri.
B.
Resume Sejarah Hukum Lingkungan
Sejarah hukum
lingkungan, kita tahu bahwa selalu ada kisah dibalik apa yang kita sebut
sebagai realita kini, berkaitan tentang hukum lingkungan, tanpa mengacu pada
aspek teoritis pun kita sebenarnya dapat secara sederhana meng-intepretasikan
mengenai hal itu, konklusi dari semua hal tersebut mengarah pada pemahaman jika
hukum lingkungan lahir atas ide, atas pemikiran yang didasari kepedulian dan
keprihatinan bahkan juga kekhawatiran akan keberlangsungan alam yang semakin
tergerus kemajuan peradaban zaman,
Lingkungan
hidup Indonesia yang dikaruniakan Allah SWT kepada bangsa Indonesia merupakan
rahmat yang sudah seharusnya dikelola, dikembangkan dan dilestarikan, Emil
Salim (dalam andi sudirman hamsah 2007:98) mengemukakan bahwa jaringan hubungan
timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat, organis dan bukan
organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan membentuk suatu ekosistem
, jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa tumbuh secara stabil apabila
berbagai aspek dalam lingkungan ini berada dalam keseimbangan, hubungan yang
sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap lingkungan seyogyanya
menimbulkan pula kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup yang
lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlua diatur dengan jelas,
masalah
lantas timbul dimana dua hal yang paling esensial perihal masalah lingkungan
hidup ialah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Nurdu’a ; sudharsono ,
1991 :7)
Keberadaan
hukum lingkungan tentu tak terlepas dari timbulnya pemahaman mengenai betapa
pentingnya lingkungan serta korelasinya terhadap kelangsungan hidup manusia
sehingga dijadikan objek yang patut untuk dilindungi eksistensinya,
Jika menilik secara lebih komperhensif
maka perlu untuk memaparkan alur perjalanan sejarah perkembangan hukum
lingkungan secara universal/transnational, Dasawarsa tahun 1970-an
merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya
Konferensi Stockholm tahun 1972 yang membicarakan masalah lingkungan (UN
Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan
oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli
ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah
komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan (World Commission on Environment and
Development) yang kemudian lahir konsep sustainable
development,
mulai
timbulnya kekhawatiran-kekhawatiran yang lantas bermuara pada 5 juni 1972,
dimana PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan manusia yang berlangsung di
Stockholm, swedia dan sekaligus menetapkan tanggal 5 juni sebagai hari
lingkungan hidup sedunia, dalam konferensi PBB tersebut disepakati beberapa hal
yaitu :
1. Deklarasi
Stockholm , dimana deklarasi tersebut berisi prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam mengelola
lingkungan hidup dimasa depan melalui penerapan Hukum lingkungan internasional
2. Rencana
aksi, yang mencakup peencanaan dalam hal pemukiman , pengelolaan sumber daya
alam , pengendalian pencemaran lingkungan , pendidikan serta informasi mengenai
lingkungan hidup
3. Segi
kelembagaan , dibentuknya united nations environtment program (UNEP) yaitu badan
PBB yang menangani mengenai program
lingkungan dan berpusat di Nairobi , Kenya, afrika
Beberapa
moment penting pun mengiringi sejarah pembentukan hukum lingkungan dalam
konteks internasional seperti halnya :
-
Agenda 21 Rio de janeiro
Deklarasi
yang terjadi di rio de janeiro, brazil, 3- 14 juni yang lebih popular dengan
istilah KTT RIO, merupakan konferensi tingkat tinggi yang dihadiri 179 negara,
adalah dokumen komperhensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi
pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21 dimana secara umum menawarkan
langkah konstruktif dan inovatif bagi Negara maju dan berkembang dalam hal
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan,
Kesadaran
bangsa – bangsa di Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara
mereka. Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “tripartite
Agreement” dan Deklarasi Manila. Setelah Deklarasi Manila, negara –
negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN Contingensy Plan.
Negara – negara ASEAN juga telah menyusun
“
Rencana Tindak” (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana
Tindak ini adalah perkembangan dan perlindungan lingkungan laut dan kawasan -
kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang
dan masa mendatang.
Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan
resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk
perundang-undangan yang mengikat untuk ditaati oleh semua pemangku
kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga
menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang
dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur
mengenai lingkungan hidup.
Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di
Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam
susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan
Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil
meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya
dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau
awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional. Sebelum lahirnya
UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan tentang atau yang berhubungan dengan lingkungan hidup atau
sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang dipandang sebagai rezim hukum
nasional klasik. Rezim hukum lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan
yang melindungi kepentingan sektoral, sementara masalah-masalah lingkungan yang
timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan klasik tidak
mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan secara
efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH
1982 berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral.
UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama
dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. UULH 1982 memuat
ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni
hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang
sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu,
ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup.
Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para
pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil kebijakan lingkungan hidup
dipandang sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak
efektif. Sejak pengundangan UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia
ternyata tidak semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan terhadap
UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan, yaitu dari sejak naskah
akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997 pemerintah
mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UULH 1997).
Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), didalam kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
sehingga perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga pemanasan global
yang semakin meningkat dan mengakibatkan perubahan iklim, sehingga memperparah
penurunan kualitas lingkungan hidup. Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH
1997 perlu untuk digantikan oleh undang – undang yang baru[1].
Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas
menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa
perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah
termasuk di bidang perlingkungan lingkungan hidup.
Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga semakin memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997.
Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki
celah – celah kelemahan normatif, terutama kelemahan kewenangan penegakan hukum
administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan
penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan
dengan mengundangkan sebuah undang – undang baru guna peningkatan penegakan
hukum. Berdasarkan hal ini menunjukan, bahwa UUPPLH memberikan warna yang baru
dan berbeda dari undang-undangan sebelumnya.
tidak
hanya perihal kejadian dan retorika perkembangan yang dimuat oleh sejarah namun
sejarah juga memberikan kita banyak pemahaman bahwa perkembangan hukum
lingkungan berbanding linear dengan perkembangan ide, pemikiran , dan aspek
teori dari hukum lingkungan itu sendiri,
Teori nilai kebijakan publik (the
public values) menjelaskan bahwa pertukaran pandangan atau musyawaah
mufakat (deliberative process) di antara berbagai pemangku
kepentingan(stakeholders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan
keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan
pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty),kesediaan
untk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan – pandangan pihak yang
berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama (collective choice).
Menurut teori nilai kebijakan publik wakil – wakil dari berbagai pemangku
kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan
dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di
atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota badan legislatif harus mampu
membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan
konstituen mereka . Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi
kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dapat
diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses politik. Dalam proses ini
,para anggota badan legislatif setelah memerhatikan berbagai usulan atau
pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan dengan mengacu
pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik dan bangsa.
Dalam
pembangunan hukum lingkungan seringkali berbenturan dengan kepentingan
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan nasional secara fisik di Indonesia
tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, eksploitasi terhadap sumber daya
alam menjadi pemandangan yang biasa, demi meraih dan menarik para investor
asing, peraturan yang ada seakan hanya menjadi hiasan dinding yang tak berkutik.
Adanya otonomi daerah menjadi ajang para kepala daerah menunjuk kebolehan
merusak dan mengerok keuntungan dari eksploitasi alam. Para pemimpin seakan
menutup mata dan telinga melihat dan mendengar jeritan rakyat, untuk
menyelamatkan diri pribadi dan kelompoknya mereka sembunyi dibalik peraturan
perundang-undangan yang mereka buat sendiri.
Kesadaran lingkungan mulai terlihat tahun 1950-an tatkala mulai munculnya
pencemaran yang berasal dari pabrik – pabrik, pertanian dan transportasi di
negara- negara maju. Tumbuhnya industri sekaligus menimbulkan pencemaran
melalui buangan limbah, asap (jelaga) atau kebisingan (noise).
Sistem pertanian menimbulkan pencemaran alam melalui pemakaian pestisida yang
banyak. Demikian pula transportasi melalui asap dari proses bahan bakar,
kebisingan dan kemacetan jalan,
Nah sudahkan ternalar jika dari banyaknya
retorika yang terjadi muncullah kepedulian, muncullah kemudian pemahaman untuk
melindungi apa yang penting bagi diri mereka ( manusia), yang dalam konteks ini
bahwa segala kejadian merugikan dari rusaknya alam menimbulkan kerugian bagi
manusia dimana hal tersebut menyadarkan manusia akan betapa pentingnya
kelestarian alam sehingga alam mulai menjadi concern tersendiri yang memulai
era dimana hukum menjadi tonggak yang digunakan oleh umat manusia untuk
melindungi apa yang penting baginya.
Hukum
lingkungan dalam bidang ilmu hukum merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang
paling strategis karena hukum lingkungan memiliki banyak segi yaitu segi hukum
administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata, dengan demikian tentu
saja hukum lingkungan lahir disertai ruang lingkup kajian yang kompleks,
sehingga untuk mendalami Hukum lingkungan itu sangat sulit apabila tidak pula
memahami beberapa segi hukum yang lain, dalam pengertian sederhana hukum
lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (
lingkungan hidup),
Dimana
lingkungan mencakup semua benda, hal dan kondisi termasuk didalamnya manusia
dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan
mempengaruhi kelangungan hidup serta kesejahteraan manusia lainnya, dalam
pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan
atau environment – oriented law, sedangkan hukum lingkungan klasik lebih pada
use – oriented law,
Hukum
lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama
sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan
dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksial
mungkin dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya , hukum lingkungan klasik
bersifat sektoral serta kaku dan sukar berubah.
Mochtar
kusumaatmadja mengemukakan bahwa system pendekatan terpadu atau utuh harus
diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara
tepat dan baik, system ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di
Indonesia, Drupsten mengemukakan bahwa hukum lingkungan (milieu recht) adalah
hukum yang berkaitan dengan lingkungan alam (naturlijk milieu) dalam arti
seluas-luasnya, ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang
lingkup pengelolaan lingkungan , mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan
terutama oleh pemerintah maka hukum lingkungan sebagian bear terdiri atas hukum
pemerintahan (bestuurrecht).
Dalam hukum lingkungan modern
ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia
dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan
mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus
menerus dimanfaatkan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang, hukum
lingkungan modern berorientasi pada lingkungan sehingga sifat dan wataknya juga
mengikuti sifat dan watak lingkungan pada waktu dan wilayah tertentu dengan
demikian bertolak ukur pada ekologi, dengan berorientasi pada lingkungan ini
maka hukum lingkungan modern memiliki sifat menyeluruh dan komperhensif dimana
dinamikanya menyesuakan dinamikan yang terjadi di masyarakat dan lingkungan
alam, dimana hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi
pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya
merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah hukum
tata usaha Negara atau hukum pemerintahan.
Menilik sejarah lebih jauh ,
peraturan-peraturan yang orientasinya meyangkut lingkungan , baik disadari atau
tidak, sebenarnya telah hadir dimasa terdahulu bahkan sebelum masehi, terkadung
pada code of Hammurabi salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “ sanksi
pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya
sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu”,
Demikian
pula di abad ke-1 pada masa kejayaan romawi telah dikemukakan adanya aturan
tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik
sanitasi dan perlindungan terhadap lingkungan,
pada
era penjajahan di indonesia, yaitu pada penjajahan oleh jepang nyaris hanya
terdapat Osamu S. Kanrei No. 6 yang berkaitan dengan lingkungan yaitu mengenai
larangan menebang pohon aghata, alba , dan Balsem tanpa seizing dari Gunseikan,
karena kita tahu jepang memang tak begitu memberikan dampak significant
terhadap perkembangan hukum di Indonesia mengingat focus utamanya ialah sekedar
pada orientasi militer dan perang, lain halnya dengan penjajahan belanda atas
Indonesia, dimana telah dikenal beberapa peraturan yang keberadaanya mulai
menunjukkan adanya kepedulian atau perhatian Hukum terhadap lingkungan sebagai
onjek kajian dan perlindungannya, beberapa aturan tersebut diantaranya :
-
Undang-undang gangguan ( Hinder
ordonantie) 1926
Undang-undang
gangguan ( Hinder ordonantie stb. 1986 No. 226 yang terakhir diubah atau
ditambah dengan stb. 1940 No.450) adalah peraturan yang mengatur jenis
perizinan yang erat hubungannya dengan pencemaran lingkungan hidup sebelum
berlakunya UU Tentang pengelolaan lingkungan hidup , ordonansi gangguan ini
dapat dianggap sebagai salah satu peraturan yang berhubungan langsung dengan
masalah pencemaran lingkungan di Indonesia,
Hanya
saja secara substansial terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah
Hinder ordonantie hanya dilaksanakan terbatas oleh daerah tingkat II kota madya
atau kabupaten padahal jika menilik kajian tentang pencemarana atau kerusakan
lingkungan maka tidaklah mengenal batas wilayah karena akibat dan dampaknya
tidak hanya dialami oleh suatu wilayah saja, ditambah pada saat itu daerah
tingkat II tidak memiliki cukup tenaga ahli yang mampu menilai secara teknis
instalasi yang sifatnya kompeks, Hinder ordonantie pun hanya ditujukan pada
bahaya, kerusakan atau gangguan yang timbul dari tempat usaha , jadi sumber
pencemaran selain pabrik tidaklah terjangkau, misalnya : kendaraan bermotor,
alat-alat yang memicu pencemaran , kelemahan lain dari Hinder ordonentie ialah
sifatnya yang cenderung individual artinya ditujukan kepada gangguan yang
ditimbulkan oleh perusahaan secara
mandiri dan tidak terhadap beban derita yang dibuat oleh pencemar secara
kolektif, yang mana dalam pemberian izin tidak dipertimbangkan antara
kemungkinan pencemaran yang dilakukan oleh satu perusahaan dan perusahaan lain
secara kumulatif.
Dibidang
kaitannya dengan perusahaan sendiri telah dikeluarkan pada masa itu berbagai
peraturan lain yang berusaha untuk menutupi kelemahan dari Hinder ordonentie
se-misal bedrijfsreglemenigsordonantie 1934 (stbl. 1938 No. 86 Jo Stbl 1948 No.
224), ordonansi dibidang satwa Dierenbeschermingsordonantie (Stbl 1931 No. 134)
yang mulai berlaku pada tanggal 1 juli 1931, berkaitan dengan ordonansi ini
adalah peraturan tentang perlindungan alam / natuurhermings ordonantie 1941
(Stbl 1941 NO. 167) dimana ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur
cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa / natuurnomumenten en
reservatenordonantie 1932 (Stbl 1932 No. 17 )
Ya
itu bagian dari sekelumit puing-puing sejarah sebelum lahirnya UU No. 32 tahun
2009 yang menggantikan uu no 23 tahun1997, lantas setelah membahas jauh
kebelakang maka kiranya sudah saat dimana kita coba untuk menelaah lebih jauh
perihal hukum lingkungan dalam perspektif aturan tertulis dan memperbandingkan
kinerja masing-masing undang-undang tersebut dalam peranannya menjamin dan
melindungi eksiostensi serta keberlangsungan lingkungan hidup yang baik bagi
manusia ( kita )
C. Pembangunan Hukum
Lingkungan Hidup
Titik
balik perkembangan dalam pembangunan Hukum lingkungan terjadi setelah
diundangkannya undang-undang no. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengelolaan lingkungan hidup
tertanggal 11 maret 1982 yang biasa dikenal dengan istilah UULH 1982, dimana
undang undang tersebut jauh lebih bernilai environment law oriented, hal ini
dapat pula dikatakan sebagai yang menandai awal pengembangan perangkat Hukum
yang mendasari pengelolaan perihal lingkungan hidup di Indonesia , sebagai
perwujudan upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup,
UNDANG-UNDANG
NO 4 TAHUN 1982
-
Pasal 3
Pengelolaan
lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia
-
Pasal 5
1. setiap
orang mempunyai hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat
2. setiap
orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi
kerusakan dan pencemarannya
-
Pasal 7
1. Setiap
orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan
yang berkesinambungan
-
Pasal 22
1. Barang
siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan
hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini
atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama –lamanya 10
(tahun) dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah)
2. Barang
siapa dengan kelalaianya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya
lingkungan hidup atau tercermarnya lingkungan hidup yang diatur dalam
undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara
selama –lamanya 1 (tahun) dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000.,- (
satu juta rupiah)
Pada
titik ini saya coba untuk menganalisis mengingat titik ini dianggap sebagai
titik balik, titik tolak dimana environment law oriented bermula lebih nyata di
Indonesia, Undang-undang no 4 tahun 1982 jelas pada pasal pertama telah
mengemukakan prinsip mendasar bahwa :
“
Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan
pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia ”
Beberapa
point yang perlu kita garis bawahi ialah terminology pada pasal tersebut yang
memang terdengar ideal namun masih rancu perihal maksud yang berusaha
disampaikan, khas era orde baru penggunaan diksi jelas tak mengherankan mengingat
ini ialah produk era orde baru, disamping itu ketidaktegasan maksud yang
berusaha disampaikan undang-undang tersebut juga tercermin dalam beberapa pasal
berikutnya, tolak ukur atau parameter yang digunakan perihal pencemaran
lingkungan pun tidak secara gamblang di jelaskan meski undang-undang ini
disertai pula ketentuan pidana sebagaimana pasal 22.
namun sekali lagi saya tegaskan bahwa
ketidakadaan pasal yang secara jelas memaparkan mengenai pencemaran lingkungan,
ukuran persepektif atau tolak ukur yang digunakan untuk menyatakan terjadi atau tidaknya suatu
tindakan pencemaran lingkungan semakin menempatkan undang-undang ini pada
posisi sulit untuk menjerat para pelaku yang berandil dalam pencemaran lingkungan,
toh kita harus ingat bahwa ini undang-undang, bukan sebuah undang-undang dasar,
katakanlah dalam sebuah undang-undang dasar memang hanya memuat pokok-pokok
yang ingin diatur namun tentu tak demikian halnya dengan undang-undang yang
harusnya lebih jelas memuat kisi-kisi yang ingin diatur dan bagaimana
merealisasikan pengaturannya.
Meski begitu, berbagai kelemahan
UU no 4 tahun 1982 dapat dipahami dan tertutupi oleh karena beberapa
undang-udang lain yang bermunculan setelahnya sebagai upaya pelestarian
lingkungan hidup, sebagaimana UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, UU nomor 24 tahun 1992 tentang penataan
ruang,
Sejarah
pun kembali bergulir, disadari bahwa permasalahan Hukum lingkungan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk Hukum yang
tegas demi menjamin kepastian Hukum, disamping memandang perkembangan massive
lingkungan secara global serta banyaknya aspirasi internasional yang juga ikut
serta memberikan pengaruh dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia,
dalam mempertimbangkan perkemba ngan tersebut maka dipandang perlu untuk
menyempurnakan UU nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan hidup, lantas kemudian lahirlah Undang-undang nomor 23
tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan,
Sejak runtuhnya rezim otoriter (
orde baru ) ditahun 1998 , Indonesia beranjak pada era baru yaitu reformasi
dimana retorika berubah dan mengubah banyak hal, dimana salah satu perubahan
itu ialah desentralisasi sebagai kontra system pemerintahan sentralistik
sebagaimana yang diterapkan di era orde baru, diamandemennya undang-undang
dasar Negara republic Indonesia 1945 pun perlu digaris bawahi terutama
perubahan pada pasal 18 undang-undang dasar 1945,
(2)
Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(5)
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat
(6)
pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
Lantas
apa kaitannya dengan Hukum lingkungan ? saya tentu berharap anda (pembaca)
memperhatikan betul point-point yang saya sajikan dan makna yang berusaha saya
sampaikan bahwa tentu desentralisasi kewenangan sebagaimana tercermin pada
amandemen konstitusi yang terjadi akan dan telah memberikan dampak luar biasa
bagi perkembangan Hukum lingkungan, tidakkah kita menyadari jika konsep otonomi
daerah selaku bentuk upaya desentralisasi kewenangan dari pusat pada pemerintah
daerah telah mengalokasikan kewenangan pula perihal pengelolaan lingkungan
hidup, dimana masing-masing daerah beserta alat kelengkapan pemerintahnya dapat
secara lebih luas berandil dan bertanggung jawab mengenai pengelolaan
lingkungan hidup didaerahnya,
Sebagaimana pula yang
diamanatkan dalam pasal 18 pasca amendemen pada ayat 6 menyatakan bahwa
pemerintah daerah dapat menetapkan peraturan daerah dan tentu juga mengambil
kebijakan dimana peraturan daerah dan kebijakan yang diambil oleh suatu daerah
jika hal itu menyangkut lingkungan hidup maka akan menentukan bagaimana
lingkungan hidup didaerah tersebut dapat dikelola dan dilestarikan demi terpenuhinya
hak setip rakyat akan lingkungan yang baik dan sehat,
Dengan
diberikannya kewenangan yang seluas-luasnya maka beban tanggung jawab daerah
terhadap lingkungan semakin luas pula meski hal ini relaitanya tidak berbanding
lurus dengan kebijaksanaan, yang justru seringkali diabaikan dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan perihal lingkungan hidup, terlebih mengenai eksploitasi
alam yang justru berdampak merusak.
Menurut data dari jaringan
advokasi tambang (JATAM) Kalimantan timur ada beberapa titik lubang yang
ditinggalkan perusahaan tambang se-misalnya saja di kutai kartanegara
(KUKAR) kini ada 31 lubang berisi air
asam tambang yang luasannya mencapai 838 hektar
dan ditinggalkan begitu saja, masih menurut kordinator JATAM , bahwa
ketidak teraturan izin akan pertambangan tidak hanya berdampak pada satu daerah
saja sepertihalnya yang terjadi di samarinda tepatnya kecamatan Samboja dimana
pemerintah daerah memberikan 90 izin terhadap kegiatan pertambangan dimana
dampak lingkungan yang ditimbulkannya juga berpengaruh ke kota Balikpapan
melalui daerah aliran sungai (DAS),
Belum
lagi terdapat pula 33 izin yang dikeluarkan kementerian ESDM dan keseluruhan
1.269 izin lain oleh pemda untuk mencabik perut bumi kaltim,
dan
sudah dapat dipastikan jika dampak buruk dan pengaruhnya jelas akan luar biasa
, mulai dari banjir , krisis energy, gangguan kesehatan karena pencemaran juga
4,4 juta hektar lahan yang dikapling izin untuk tambang batubara sehingga
membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, lantas pada titik ini
saya bertanya, apa kita sudah mulai beralih untuk mencari pengganti nasi dengan
mengkonsumsi hasil tambang perut bumi ?.
Tidakkah dari hal yang
dipaparkan diatas secara tidak langsung mengungkapkan bahwa sejak berlakunya
otonomi daerah, fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah
semakin hari semakin kompleks, hal ini mencerminkan jika pemerintah daerah
belum sungguh-sungguh berkomitmen dengan pengelolaan dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup di wilayahnya masing-masing, bahwa lingkungan dan sumber daya
alam sekedar dipandang sebagai objek eksploitasi demi kepentingan peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD), sumber daya alam tak lebih dari derivative
kebijakan ekonomi, sumber daya alam hanyalah bagian dari komoditas ekonomi
untuk memperoleh keuntungan, belum banyak yang melihat bahwa sumber daya alam
dan lingkungan memiliki kapasitas mendukung segala kegiatan yang berlangsung
diatasnya termasuk kelangsungan hidup umat manusia,
Dalam
konteks kewenangan dan pertanggung jawaban pemerintah daerah atas lingkungan
hidup daerahnya maka saya cenderung beranggapan jika terdapat korelasi
penegakkan Hukum dan keterkaitan antara pemerintah daerah selaku pejabat Negara
dengan kewenangannnya dimana terikat
padanya pemberlakuan Hukum administrasi Negara dengan kelangsungan
lingkungan dan pengaruhnya terhadap masyarakat dimana terikat padanya
pemberlakuan asas-asas Hukum lingkungan, namun sebelum kita membahas lebih jauh
maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai alur sejarah berikutnya yang kini
bermuara pada lahirnya undang-undang no 32 tahun 2009.
Prof. Dr. Ir. Herry suhardiyanto
M.sc menyampaikan beberapa hal dalam pembahasan RUUPPLH, sebelum rancangan
tersebut disahkan pada tanggal 8 september 2009 , bahwa sumber kerusakan dan pencemaran
lingkungan di Indonesia banyak berpangkal pada dua masalah utama yakni masalah
kelembagaan / structural dan lemahnya pentaatan Hukum, ada dua pula fakta
penting yang membuktikan hal ini, pertama, studi terbaru yang diterbitkan
KLH-DANIDA dan ditulis oleh Prof. Maria Sumardjono menyimpulkan 13
undang-undang yang mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
alam (termasuk undang-undang No. 23 tahun 1997) ternyata satu sama lain tumpang
tumpang tindih dan tidak komplemen (saling melengkapi) bahkan cenderung sekedar
menegasikan,
temuan
ini tentu penting untuk dikaji dan disikapi oleh DPR, jangan sampai pada
periode berikutnya undang-undang PLH yang baru justru hanya menambah kerumitan
dan kompleksitas yang sudah ada, Kedua, hasil studi kementerian koordinasi
perekonomian (2007) tentang daya dukung pulau jawa yang menyimpulkan bahwa
salah satu penyebab terlampauinya daya dukung pulau jawa adalah masalah
kelembagaan , sekitar 63 % Perda ( atau 176 perda ) yang diterbitkan oleh gubernur, bupati, dan
walikota se-jawa berorientasi ekstraktif terhadap sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan daya dukung lingkungan , sisanya 31 % ( atau 85 Perda)
berorientasi kolaboratif dan hanya 6 % saja (atau 17 Perda ) yang berorientasi
pada pengelolaan sumber daya alam.
Perbandingan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Jika kita berusaha untuk
memperbandingkan undang-undang No. 23 tahun 1997 dengan undang-undang No. 32
tahun 2009, maka secara implisit akan didapati beberapa perbedaan mendasar dan
mencerminkan progresifitas Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap Undang-undang No. 23 tahun 1997
tentang pengelolaan lingkungan hidup, antara lain :
a. Definisi
tentang pencemaran lingkungan hidup
b. Definisi
tentang perusakan lingkungan hidup
c.
Instrumen KLHS
d. Kejelasan
kewenangan antara pusat dan daerah
e.
Pendaya gunaan hukum administrasi, hukum
perdata dan hukum pidana kaitannya terhadap hukum lingkungan
f.
Penegakkan hukum terpadu
Pencemaran Lingkungan
Definisi
pencemaran lingkungan dalam undang-undang no. 23 tahun 1997 ialah “ masuk atau
dimasukkannnya mahluk hidup , zat , energi dan atau komponen lain kedalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
tingkat tertentu yag menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukkannnya ”, sedangkan berdasarkan undang-undang No. 32 tahun 2009 bahwa
pencemaran diartikan sebagai “ masuk atau dimasukkannya mahluk hidup , zat ,
energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan” apabila
dicermati detailnya maka kita akan melihat perbedaan diantara kedua
perundang-undanga tersebut,
-
Undang-undang No. 23 tahun 1997 pada
definisinya tentang pencemaran lingkungan bertumpu pada parameter “
sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya,”
-
Sedangkan Undang-undang No. 32 tahun
2009 pada definisinya tentag pencemaran lingkungan bertumpu pada parameter “
sehingga melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan”
Pada
undang-undang No. 23 tahun 1997 parameternya ialah sehingga kualitas lingkungan
turun sampai pada tinggak tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai peruntukkannya”, tidak dapat dipungkiri jika tolak ukur
yang digunakan yakni “ tidak dapat berfungsi sesuai perunntukkannya” jelas
rancu, dan jelas pula konsekuensi yang muncul saat masa bakti undang-undang
tersebut, terlalu potensial untuk menimbulkan multitafsir antara aparat penegak
hukum sehingga hakim menjadi sangat bebas dalam memaknai tentang pencemaran
lingkungan hidup dan berakibat pada banyaknya kasus yang diputus bebas
(vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (oonslag),
Dan
untuk mengatasi diskresi hakim yang begitu besar dalam memaknai pencemaran
lingkungan hidup maka undang-undang No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran
lingkungan sebagai “……masuk atau dimasukkannya……sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yag telah ditetapkan ”, dalam undang-undang No. 32 tahun 2009
mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup dibatasi pada melampaui atau tidak,
baku mutu lingkungan hidup hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui
peraturan pemerintah maupun peraturan menteri LH, sehingga hakim terikat pada
kriteria yang tetap pada baku mutu lingkungan hidup dan tidak dapat menafsirkan
lain dalam memutuskan suatu perkara.
Perbedaan lain ialah definisi
kedua undang-undang tersebut tentang perusakan lingkungan hidup sebagai berikut
:
-
Perusakan lingkungan hidup dalam
undang-undang No. 23 tahun 1997 adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan
-
Sedangkan berdasarkan Undang-undang
No.32 tahun 2009 mendefinisikan perusakan lingkungan sebagai “ Tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
lingkungan hidup,
Sekali
lagi perbedaan definisi tersebut menunjukkan bagaimana kerancuan definisi dan
tolak ukur yang digunakan dan atau dijabarkan oleh undang-undang No. 23 tahun
1997 telah diperbaiki dalam balutan aturan dengan definisi dan penggunaan tolak
ukur yang lebih jelas, bersifat rigid oleh penetapan standar dan kriteria
sebagai tolak ukur yang diharap mampu mempersempit ruang kerancuan dan
meminimalisir multi tafsir dalam penegakkan hukumnya sebab jika demikian tentu
yang terancam ialah keberlangsungan kelestarian alam/lingkungan sebagai imbas
bila konstruksi hukum penjaminnya tidak mampu menciptakan kepastian.
Beberapa
point penting dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 antara lain :
1. Keutuhan
unsure-unsur pengelolaan lingkungan hidup
2. Kejelasan
kewenangan antara pusat dan daerah
3. Penguatan
pada upaya pengendalian lingkungan hidup
4. Penguatan
instrument pencegahan , pencemaran , dan atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi instrument kajian lingkungan hidup strategis tata ruang , baku mutu
lingkungan hidup , criteria baku kerusakan lingkungan hidup , perizinan,
instrument ekonomi lingkungan hidup , peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup , anggaran berbasis lingkungan hidup , analisis resiko
lingkungan hidup dan instrument lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
5. Pendayagunaan
perizinan sebagai instrument pengendalian
6. Pendayagunaan
pendekatan ekosistem
7. Kepastian
dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global
8. Penguatan
demokrasi lingkungan melalui akses informasi , akses partisipasi , dan akses
keadilan serta penguatan hak- hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungn hidup
9. Penegakkan
Hukum perdata , administrasi , dan pidana secara lebih jelas
10. Penguatan
kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif
dan responsive
11. Penguatan
kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil
lingkungan hidup
Undang-undang
ini memberikan kewenangan yang luas kepada menteri untuk melaksanakan seluruh
kewenangan pemerintah dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
serta melakukan koordinasi dengan instansi lain, melalui undang-undang ini juga
pemerintah member kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing
yang tidak diatur sebagaimana dalam undang-undang nomor 23 tahun,
Oleh
karena itu, lembaga yang dimandatkan beban kerja berdasarkan undang-undang ini
perihal lingkungan hidup tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan
melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan tetapi dibutuhkan pula suatu
instandi/organisasi dengan portofolio menetapkan , melaksanakan dan mengawasi
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup selain itu, lembaga ini
diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya
alam untuk kepentingan konservasi , untuk menjamin terlaksanakannya tugas pokok
dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara yang memadai untuk pemerintah dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah,
Pergantian
adanya undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengeloaan
lingkungan hidup, secara filosofis undang-undang ini mencerminkan penghargaan
akan arti penting hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat bagi warga Negara, jika menilik kembali pada sejarah bahwa munculnya
konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh rene cassin
dalam perkembangannya juga memasukkan hak atas lingkungan yang sehat dan baik
(The Right To Healthful and decent environtment) hal ini tak lepas dilator
belakangi oleh adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industry )
yang sangat merugikan peri-kehidupan manusia.
Secara implisit perlindungan dan
fungsi lingkungan hidup pun telah dinyatakan dalam instrument hak asasi manusia
, international covenant on economic, social ,and culture right (IECESR) namun
pengakuan secara eksplisit-nya telah terkandung dalam deklarasi Stockholm dan
deklarasi Rio sebagai non binding principe, dan di ikuti pula oleh konstitusi
di beberapa Negara semisal afrika selatan, korea selatan, ekuador, hungaria,
peru, Portugal maupun philipina, sedangkan sebagaimana kita ketahui bahwa di
Indonesia hak atas lingkungan yang sehat dan baik telah diakui dan terkandung
dalam undang-undang nomor 4 tahun 1982 serta diklasifikasikan juga dalam aspek
HAM sebagaimana ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia
dimana salah satu pasal dalam deklarasi nasional tentang HAM telah menetapkan
bahwa “ Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik” yang
dalam perkembangannya ketika lahir undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang
hak asasi manusia, dibab HAM dan kebebasan manusia maka perihal hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik, ini berada dibawah ruanglingkup hak untuk
hidup
Undang-undang nomor 32 tahun
2009 juga memuat mengenai hal itu, memasukkan pula landasan filosofis tentang
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan
ekonomi, ini jelas penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan
lingkungan kedepan tentu akan semakin kompleks dan syarat akan kepentingan para
capitalist/investor, perlu pula disoroti bahwa dalam undang-undang nomor 32
tahun, AMDAL mendapat porsi yang cukup berperan dibandingkan instrument
lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang
AMDAL, meski pengertian AMDAL pada
undang-undang nomor 32 tahun 2009 agak berbeda dengan undang-undang nomor 23
tahun 1997 yaitu hilangnya “Dampak besar” , jika dalam undang-undang nomor 23
tahun 1997 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup”
, sedangkan pada undang-undang nomor 32 tahun 2009 bahwa “AMDAL adalah kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup”,
Jika
kita telaah secara terminologis tentu hilangnya kata “Dampak Besar” pada
pengertian tentang AMDAL bagi saya dapat dipandang sebagai upaya untuk
men-generalisir pengertian tersebut, bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan
tidak lagi bertolak pada makna “dampak besar” tanpa parameter jelas, bahwa
tolak ukur suatu kegiatan atau usaha melakukan pencemaran atau tidak, melakukan
kerusakan atau tidak, ialah pada ada atau tidaknya dampak bagi masyarakat
terlepas dampak itu besar atau kecil dirasa,
bahwa
berpotensi saja merusak atau mencemari sudah dapat seharusnya dilakukan
pencegahan atas kegiatan dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh perusahaan
atau siapapun, oleh perseorangan atau instansi manapun.
Hal - hal penting baru terkait AMDAL
sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 antara lain :
-
AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu
instrument pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
-
Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki
sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL
-
Komisi penilai AMDAL pusat, provinsi
maupun kab/kota wajib memiliki lisensi
AMDAL
-
AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan
penting untuk penerbitan izin lingkungan
-
Izin lingkungan diterbitkan oleh menteri
, gubernur , bupati / walikota sesuai kewenangannnya
Selain
kelima hal tersebut, ada pula pengaturan tegas yang diamanatkan undang-undang
nomor 32 tahun 2009 , yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL, pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut
yaitu :
1. Sanksi
terhadap orang yang melakukan usaha /kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
2. Sanksi
terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi
3. Sanksi
terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan
dokumen AMDAL atau UKL/UPL
Setelah
kita coba untuk menelaah pemaparan diatas, tentu undang-undang nomor 32 tahun
2009 secara substansial jauh lebih baik dan terperinci dalam mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup namun bila kita coba untuk
mencermati lebih jauh, maka akan didapati masih banyaknya hal yang perlu untuk
dikritisi sebab bebrapa aspek dirasa perlu untuk lebih lanjut dibenahi, semisal
pasal 26 ayat (2) bahwa :
“
pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan ”
Dalam
pasal ini tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimanakah bentuk
informasi secara lengkap tersebut dan upaya Hukum apa yang dapat dilakukan bila
hal tesebut tidak dilakukan , begitu pula dalam ayat (4)
“Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen
AMDAL”
Juga
lagi-lagi tidak diiukuti pula penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan
bagi masyarakat yang mayoritas awam dalam hal penegakkan prinsip Hukum
lingkungan, tidak secara tersurat dipaparkan atas tolak ukur apa, pertimbangan
apa, dan bagaimana masyarakat dapat menolak dokumen tersebut sehingga
realitanya malah justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal
permasalahan perihal Hukum lingkungan.
Padahal ini sungguh ironis
ditengah minimnya pemahaman masyarakat akan suatu undang-undang, seperti
dikatakan oleh Tasdyanto Rohadi (ketua umum ikatan ahli lingkungan hidup) ,
survey terhadap tingkat pemahaman masyarakat terhadap undang-undang tersebut
tak lebih dari 30% di daerah perkotaan,
Selain
itu dari ketigabelas instrument pencegahan pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU No.32 Tahun 2009 ,
diperkenalkan instrument baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya, yaitu
kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah
pusat maupun daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana dan
atau program ( Pasal 15 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009) namun demikian , tidak
seperti halnya AMDAL yang disertai sanksi berat atas pelanggarannya, UUPLH
tidak mencantumkan sanksi pula pada kegagalan pemerintah baik pusat maupun
daerah dalam realisasi prinsip KLHS.
Seperti
yang telah saya paparkan sebelumnya, bahwa perlu digaris bawahi/ dicetak lebih
tebal perihal komitmen pemerintah khususnya di daerah, yang masih kurang
kepedulian dan focus mengenai masalah lingkungan hidup, dalam hasil survey yang
dilakukan oleh sugeng suryadi syndicat menyatakan jika 47 % kepala daerah
kurang peduli terhadap lingkungan hidup, cukup peduli 37 % dan hal yang juga ironis bahwa hanya 6,4%
yang focus membenahi masalah lingkungan hidup.
Namun hal lain yang perlu di
kritisi tidak hanya tentang kepedulian pemerintah dan bagaimana buruknya
kinerja birokrasi dalam melindungi kepentingan khalayak, jika menilik pada
pasal 46 berbunyi :
“selain
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 , dalam rangka pemulihan kondisi
lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan atau kerusakan
pada saat undang-undang ini ditetapkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup ”
Satu
hal yang dapat saya pahami ialah pada akhir-nya semua tanggung jawab untuk
memulihkan kembali lingkungan yang rusak atau tercemar akan kembali pada
pemerintah baik pusat maupun daerah, lantas saya coba untuk mempertanyakan
bagaimanakah peranan pihak swasta atau siapapun yang sebenarnya adalah pelaku
secara langsung pencemaran atau kerusakan yang terjadi ?, katakanlah yang
mereka lakukan oleh karena buruknya kinerja birokrasi baik berupa izin yang
keliru atau kebijakan-kebijakan pembiaran yang seharusnya tidak dilakukan atau
setidaknya ada peranan pemerintah untuk mencegah pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup terjadi namun tentu tidak kemudian para pencemar / pihak
swasta atau siapapun terlepas dari kebersalahan yang secara langsung dilakukan
sebagaimana tidak pula disebut dalam pasal 46, hukum memang tidak boleh
bersifat retroaktif, hukum tidak dikehendaki berlaku surut namun point penting
yang harusnya kita pertanyakan ialah seberapa banyak kasus pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan mampu diadili pelakunya, mampu dituntut pertanggung
jawabannya sebelum undang-undang nomor 32 pasal 46 ini diberlakukan ?,
bagaimana dengan para investor asing yang sekedar menanam modal dan bermain
cantik dengan membiarkan para putra bangsa mengeruk sumber daya alamnya
sendiri, merusak tatanan alamnya dengan tangan mereka sendiri, seberapa jauh
kita mampu menuntut pertanggung jawaban itu pada dalang dibalik layar
perwayangan masalah ini ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar