Minggu, 16 Maret 2014

Hukum Lingkungan

Qomum Al-Biah
Environment law /  MillieRecht

Original Writter by : Gusti D Hedwic
All my tribute it present to : Dwi Nur Fauziah SH.MH (Dosen pengampu Hukum Lingkungan)

BAGAIMANA ISLAM ?
MEMANDANG ALAM DAN PENCEMARAN TERHADAPNYA

Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam, tak sedikit ayat dalam alquran maupun terkandung dalam hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup, adalah Prof. KH. Ali yafie yang mengungkapkan tentang pemaparan Fiqh al Bi’ah yaitu mengenai menjaga lingkungan hidup / alam, sebagaimana QS. Al- A’raf /7:56 :
“ janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik “
Disampaikan oleh beliau bahwa terdapat dua indikator dalam ajaran islam, dua kutub dimana manusia hidup, yang pertama adalah Rabbul’alamin, islam mengajarkan bahwa Allah SWT ialah tuhan semesta alam, jadi bukan sekedar tuhan atas manusia atau sekelompok manusia, bukan itu, dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran islam, sudah dibuka wawasan atasnya bahwa allah adalah pencipta , penguasa dan yang mengatur seluruh alam, dimana manusia sebagaimana difirmankan memikul tanggung jawab sebagai khalifah, sebuah tanggung jawab yang bahkan tak disanggupi oleh Hamba allah dari golongan lainnya,
Kutub kedua ialah rahmatan lil’alamin, bahwa manusia dengan ajaran islam ialah rahmat bagi seluruh alam, yang mana sebagaimana disebut jika manusia adalah khalifah yag seharusnya memikul dengan amanat untuk menjaga bumi, alam beserta ekosistem yang ada, “Laa tufsidu ardhi ba’da ishlahiha (jangan merusak alam ini sesudah ditata sedemikian baik)”,
                Dalam pemikiran tentang Fiqh al bi’ah maka hal pertama yang perlu dipahami ialah makna khalifah, kedudukan manusia sebagai khalifah dengan segala tanggung jawab yang seharusnya dijalankan dengan amanah, dalam alquran memang ditegaskan bahwa manusia sebagai khalifah tidaklah seharusnya melakukan perusakan dan pertumpahan darah tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera dan penuh keadilan, dengan demikian , manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi secara tidak langsung telah mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (Qs.Al-Baqarah/2:30), walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (Qs.Luqman/31:20) tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena, sehingga perusakan terhadap alam merupakan bentuk pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) allah, dan akan dijauhkan dari rahmatnya (Qs. Al-A’raf/7:56), karena itulah pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah berhak semena-mena jelas tidak memiliki sandaran teologisnya, segala bentuk perusakan terhadap alam tetap tidak di benarkan, sebab alam diciptakan dengan cara yang benar (Bi al-haqq, Qs.al-zumar/39:5), tidak main-main (La’b, Qs.Al-anbiya), dan tidak secara palsu (Qs.shad/38:27).
                Dijelaskan pula oleh yusuf Qardawi dalam Ri’ayah al Bi’ah fiy syari’ah al-islam (2001) bahwa memelihara lingkungan sepertihalnya menjaga lima tujuan dasar islam (maqashid al syari’ah), sebab kelima tujuan tersebut bisa ter-ejawantahkan jika lingkungan dan alam semesta mendukung keadannya
 
A.   Terminologi Hukum Lingkungan

Sebelum jauh membicarakan mengenai hukum lingkungan perlu kiranya diungkapkan mengenai pengertian dari hukum lingkungan itu sendiri, Hukum lingkungan merupakan terjemah atau serapan dari beberapa istilah asing yang telah ada sebelumnya yaitu Environmental law dalam bahasa inggris, Millieerecht ( Belanda), Lenvironnement (Prancis), umwelrecht (Jerman) , Qomum al-biah (Arab),
Kata hukum lingkungan hidup secara terminology dapat dipisahkan menjadi hukum dan lingkungan yang masing-masing memiliki pengertian berbeda , pengert ian Hukum dalam kamus hukum ialah keseluruhan kumpulan peraturan dimanatiap-tiap orang wajib mematuhinya , suatu sistem yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa ; undang – undang, ordonansi atau peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ditanda tangani ke dalam undang – undang, law (ing), recht (bld).
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dikenal istilah lingkungan yang artinya sekeliling, sekitar, selingkung, seluruh suatu lingkaran, daerah dan sebagainya. Sementara dalam kamus hukum, istilah yang dikenal adalah lingkungan hidup yang artinya adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya, Istilah ini dikenal dalam hukum lingkungan. 
Menurut Gatot. P. Soemartono, hukum adalah keseluruhan peraturan mengenai tingkah laku manusia yang isinya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi leh pihak yang berwenang. Maka dari pengertian tersebut, hukum lingkungan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.
Hukum lingkungan menurut ST. Munadjat Danusaputro[5] adalah hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan. Beliau membagi hukum lingkungan menjadi 2 (dua) yakni :
1.         Hukum Lingkungan Klasik
Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma – norma guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber – sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin dan dalam jangka waktu singkat.
 
2.         Hukum Lingkungan Modern
Hukum lingkungan menetapkan ketentuan dan norma – norma guna mengatur perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestariannya agar dapat berlangsung secara terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi – generasi mendatang.
Koesnadi Hardjasoemantri senada dengan pendapat di atas, dia juga membagi hukum lingkungan menjadi 2 (dua) yakni hukum lingkungan klasik dan hukum lingkungan modern. Menurut dia, hukum lingkungan modern berorientasi pada lingkungan atau environment – oriented law dan  hukum lingkungan klasik berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use – oriented law. Hukum lingkungan modern yang berorientasi pada lingkungan memiliki sifat utuh – menyeluruh atau komprehensif – integral, selalu dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. Sebaliknya hukum lingkungan klasik bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah.
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh menyeluruh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik. Sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
Bidang hukum satu ini merupakan suatu sistem atau norma masyarakat yang mengatur interaksinya dengan lingkungan. Hukum lingkungan dalam hukum positif di Indonesia adalah salah suatu cabang hukum yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Disiplin ilmu ini lahir sejalan dengan perkembangan lingkungan hidup yang mengalami banyak persoalan sehubungan dengan pembangunan.
Keberadaan hukum lingkungan menurut N.H.T Siahaan, merupakan sarana penting untuk mengatur perilaku – perilaku manusia terhadap lingkungan dan segala aspeknya, supaya tidak terjadi pengrusakan, gangguan dan kemerosotan nilai – nilai lingkungan itu karena secara empiris pembangunan menjadikan alam sebagai alat pemuas mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan. Pembangunan “memangsa” lingkungan dan sumber – sumber alam, sehingga lingkungan dan keserasian alam cenderung mengalami kerusakan atau kemerosotan. Disamping itu, kehadirannya erat kaitannya dengan kecendrungan prilaku manusia dengan sesamanya yang kurang harmonis. Dan demikian pula terhadap lingkungan hidup. Disatu pihak, ada manusia yang saling bersengketa dengan sesamanya karena memperebutkan suatu sumber daya, mungkin karena keterbatasan atau kesamaan kepentingannya atas suatu obyek lingkungan tertentu, dan mungkin juga karena interaksi manusia terhadap lingkungan tidak lagi terkendali sehingga mengakibatkan lingkungan merosot atau rusak. Karena manusia hakikatnya adalah manusia yang mencintai kebersamaan demi hidup dengan sesama, maka diaturlah bagaimana supaya alam lingkungannya tetap baik dengan pertama memperbaiki hubungan antar sesama.
Hukum lingkungan menurut Takdir Rahmadi sebagai suatu disiplin ilmu hukum yang memiliki karakteristik yang khas terutama bila dikaitkan dalam bidang hukum publik dan privat. Kekhasannya terletak pada substansinya atau kepentingan – kepentingan tercakup di dalamnya sangat luas dan beragam sehingga hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada salah satu di antara kedua bidang hukum tersebut.
Sementara Drupsteen dalam Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan hukum lingkungan adalah hukum berhubungan dengan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas – luasnya. Ruang lingkupnya  berkaitan erat dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurs – recht). Disamping hukum lingkungan pemerintahan (bestuurs -  natuurlijk milieurecht) yang dibentuk pemerintah pusat, ada juga yang berasal dari pemerintah daerah, dan sebagian dibentuk oleh badan – badan internasional atau perjanjian – perjanjian dengan negara – negara lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan(staatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (straftrechtelijk milieurecht).
Tentu sepanjang hal tersebut memuat hal yang bertalian dengan pengelolaan hukum lingkungan, dimana menurut Koesnadi Hardjasoemantri terdapat 6 aspek dalam hukum lingkungan :
1.       Hukum tata lingkungan
2.       Hukum perlindungan lingkungan
3.       Hukum kesehatan lingkungan
4.       Hukum pencemaran lingkungan
5.       Hukum lingkungan transnasional / internasional
6.       Hukum sengketa lingkungan
Dimana berkaitan dengan itu berdasarkan UUPLH Pasal 2 mengemukakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada beberapa asas yaitu :
1.       Tanggung jawab Negara
2.       Kelestarian dan keberlanjutan
3.       Keserasian dan keseimbangan
4.       Keterpaduan
5.       Manfaat
6.       Kehati-hatian
7.       Keadilan
8.       Ekoregion
9.       Keanekaragaman hayati
10.    Pencemar membayar
11.    Partisipatif
12.    Kearifan local
13.    Tata Kelola pemerintaha yang baik
14.    Otonomi daerah

Ketika kita bicara tentang hukum lingkungan maka hal yang menjadi permasalahan ialah segala sesuatu yang mengancam eksistensi dan keberlangsungan kelestarian lingkungan dimana tokoh yang menjadi dalang sudah pasti adalah manusia itu sendiri,lantas tidakkah kita bertanya sejak kapankah pengertian dan ide kepedulian terhadap lingkungan itu ada ? atau bagaimana itu terbersit sehingga manusia merasa perlu untuk mengatur secara tertulis dan menjadikannya hukum semata-mata demi melindungi alam/ lingkungan hidup ?,
Tidakkah setiap hal yang terjadi pada era kita kini tak terlepas dari bagaimana alur sejarah yang telah lalu terjadi ? untuk itulah kita akan coba untuk membahas lebih lanjut perihal titik nadir awal hukum lingkungan ini mulai menjadi focus dan perhatian dalam realisasinya oleh umat manusia yang notabene adalah untuk mengekang dan mengatur diri mereka sendiri yang merupakan tokoh potensial secara sadar atau tidak, dapat saja melakukan hal-hal yang mengancam eksistensi dan keberlangsungan lingkungan hidup mereka sendiri.


B.   Resume Sejarah Hukum Lingkungan


Sejarah hukum lingkungan, kita tahu bahwa selalu ada kisah dibalik apa yang kita sebut sebagai realita kini, berkaitan tentang hukum lingkungan, tanpa mengacu pada aspek teoritis pun kita sebenarnya dapat secara sederhana meng-intepretasikan mengenai hal itu, konklusi dari semua hal tersebut mengarah pada pemahaman jika hukum lingkungan lahir atas ide, atas pemikiran yang didasari kepedulian dan keprihatinan bahkan juga kekhawatiran akan keberlangsungan alam yang semakin tergerus kemajuan peradaban zaman,
Lingkungan hidup Indonesia yang dikaruniakan Allah SWT kepada bangsa Indonesia merupakan rahmat yang sudah seharusnya dikelola, dikembangkan dan dilestarikan, Emil Salim (dalam andi sudirman hamsah 2007:98) mengemukakan bahwa jaringan hubungan timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat, organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan membentuk suatu ekosistem , jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa tumbuh secara stabil apabila berbagai aspek dalam lingkungan ini berada dalam keseimbangan, hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap lingkungan seyogyanya menimbulkan pula kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlua diatur dengan jelas,
masalah lantas timbul dimana dua hal yang paling esensial perihal masalah lingkungan hidup ialah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Nurdu’a ; sudharsono , 1991 :7)
Keberadaan hukum lingkungan tentu tak terlepas dari timbulnya pemahaman mengenai betapa pentingnya lingkungan serta korelasinya terhadap kelangsungan hidup manusia sehingga dijadikan objek yang patut untuk dilindungi eksistensinya,
        Jika menilik secara lebih komperhensif maka perlu untuk memaparkan alur perjalanan sejarah perkembangan hukum lingkungan secara universal/transnational, Dasawarsa tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang membicarakan masalah lingkungan (UN Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development)  yang kemudian lahir konsep sustainable development,
mulai timbulnya kekhawatiran-kekhawatiran yang lantas bermuara pada 5 juni 1972, dimana PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan manusia yang berlangsung di Stockholm, swedia dan sekaligus menetapkan tanggal 5 juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia, dalam konferensi PBB tersebut disepakati beberapa hal yaitu :
1.       Deklarasi Stockholm , dimana deklarasi tersebut berisi prinsip-prinsip  yang harus digunakan dalam mengelola lingkungan hidup dimasa depan melalui penerapan Hukum lingkungan internasional
2.       Rencana aksi, yang mencakup peencanaan dalam hal pemukiman , pengelolaan sumber daya alam , pengendalian pencemaran lingkungan , pendidikan serta informasi mengenai lingkungan hidup
3.       Segi kelembagaan , dibentuknya united nations environtment program (UNEP) yaitu badan PBB yang  menangani mengenai program lingkungan dan berpusat di Nairobi , Kenya, afrika
Beberapa moment penting pun mengiringi sejarah pembentukan hukum lingkungan dalam konteks internasional seperti halnya :
-          Agenda 21 Rio de janeiro
Deklarasi yang terjadi di rio de janeiro, brazil, 3- 14 juni yang lebih popular dengan istilah KTT RIO, merupakan konferensi tingkat tinggi yang dihadiri 179 negara, adalah dokumen komperhensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21 dimana secara umum menawarkan langkah konstruktif dan inovatif bagi Negara maju dan berkembang dalam hal mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan,
Kesadaran bangsa – bangsa di Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara mereka. Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. Setelah Deklarasi Manila, negara – negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN Contingensy Plan. Negara – negara ASEAN juga telah menyusun
“ Rencana Tindak”  (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana Tindak ini adalah perkembangan dan perlindungan lingkungan laut dan kawasan - kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang dan masa mendatang.
           Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengikat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup.
           Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
           Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional. Sebelum lahirnya UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tentang atau yang berhubungan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang dipandang sebagai rezim hukum nasional klasik. Rezim hukum lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sementara masalah-masalah lingkungan yang timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan klasik tidak mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan secara efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH 1982 berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral.
           UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
           Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil kebijakan lingkungan hidup dipandang sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Sejak pengundangan UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan, yaitu dari sejak naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997 pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997).
           Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), didalam kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga pemanasan global yang semakin meningkat dan mengakibatkan perubahan iklim, sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang – undang yang baru[1]
Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 
Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang perlingkungan lingkungan hidup. 
Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga semakin memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997. 
Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah – celah kelemahan normatif, terutama kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan sebuah undang – undang baru guna peningkatan penegakan hukum. Berdasarkan hal ini menunjukan, bahwa UUPPLH memberikan warna yang baru dan berbeda dari undang-undangan sebelumnya.
                tidak hanya perihal kejadian dan retorika perkembangan yang dimuat oleh sejarah namun sejarah juga memberikan kita banyak pemahaman bahwa perkembangan hukum lingkungan berbanding linear dengan perkembangan ide, pemikiran , dan aspek teori dari hukum lingkungan itu sendiri,
Teori nilai kebijakan publik (the public values) menjelaskan bahwa pertukaran pandangan atau musyawaah mufakat (deliberative process) di antara berbagai pemangku kepentingan(stakeholders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty),kesediaan untk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan – pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama (collective choice). Menurut teori nilai kebijakan publik wakil – wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan konstituen mereka . Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dapat diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses politik. Dalam proses ini ,para anggota badan legislatif setelah memerhatikan berbagai usulan atau pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan dengan mengacu pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik dan bangsa.
          Dalam pembangunan hukum lingkungan seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan ekonomi nasional, pembangunan nasional secara fisik di Indonesia tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi pemandangan yang biasa, demi meraih dan menarik para investor asing, peraturan yang ada seakan hanya menjadi hiasan dinding yang tak berkutik. Adanya otonomi daerah menjadi ajang para kepala daerah menunjuk kebolehan merusak dan mengerok keuntungan dari eksploitasi alam. Para pemimpin seakan menutup mata dan telinga melihat dan mendengar jeritan rakyat, untuk menyelamatkan diri pribadi dan kelompoknya mereka sembunyi dibalik peraturan perundang-undangan yang mereka buat sendiri.
         Kesadaran lingkungan mulai terlihat tahun 1950-an tatkala mulai munculnya pencemaran yang berasal dari pabrik – pabrik, pertanian dan transportasi di negara- negara maju. Tumbuhnya industri sekaligus menimbulkan pencemaran melalui buangan limbah, asap (jelaga) atau kebisingan (noise). Sistem pertanian menimbulkan pencemaran alam melalui pemakaian pestisida yang banyak. Demikian pula transportasi melalui asap dari proses bahan bakar, kebisingan dan kemacetan jalan,
Nah sudahkan ternalar jika dari banyaknya retorika yang terjadi muncullah kepedulian, muncullah kemudian pemahaman untuk melindungi apa yang penting bagi diri mereka ( manusia), yang dalam konteks ini bahwa segala kejadian merugikan dari rusaknya alam menimbulkan kerugian bagi manusia dimana hal tersebut menyadarkan manusia akan betapa pentingnya kelestarian alam sehingga alam mulai menjadi concern tersendiri yang memulai era dimana hukum menjadi tonggak yang digunakan oleh umat manusia untuk melindungi apa yang penting baginya.

Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan memiliki banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata, dengan demikian tentu saja hukum lingkungan lahir disertai ruang lingkup kajian yang kompleks, sehingga untuk mendalami Hukum lingkungan itu sangat sulit apabila tidak pula memahami beberapa segi hukum yang lain, dalam pengertian sederhana hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan ( lingkungan hidup),

Dimana lingkungan mencakup semua benda, hal dan kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangungan hidup serta kesejahteraan manusia lainnya, dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau environment – oriented law, sedangkan hukum lingkungan klasik lebih pada use – oriented law,
Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksial mungkin dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya , hukum lingkungan klasik bersifat sektoral serta kaku dan sukar berubah.
Mochtar kusumaatmadja mengemukakan bahwa system pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, system ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia, Drupsten mengemukakan bahwa hukum lingkungan (milieu recht) adalah hukum yang berkaitan dengan lingkungan alam (naturlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya, ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan , mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah maka hukum lingkungan sebagian bear terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurrecht).
                Dalam hukum lingkungan modern ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus dimanfaatkan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang, hukum lingkungan modern berorientasi pada lingkungan sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak lingkungan pada waktu dan wilayah tertentu dengan demikian bertolak ukur pada ekologi, dengan berorientasi pada lingkungan ini maka hukum lingkungan modern memiliki sifat menyeluruh dan komperhensif dimana dinamikanya menyesuakan dinamikan yang terjadi di masyarakat dan lingkungan alam, dimana hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah hukum tata usaha Negara atau hukum pemerintahan.
                Menilik sejarah lebih jauh , peraturan-peraturan yang orientasinya meyangkut lingkungan , baik disadari atau tidak, sebenarnya telah hadir dimasa terdahulu bahkan sebelum masehi, terkadung pada code of Hammurabi salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “ sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu”,
Demikian pula di abad ke-1 pada masa kejayaan romawi telah dikemukakan adanya aturan tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan terhadap lingkungan,
pada era penjajahan di indonesia, yaitu pada penjajahan oleh jepang nyaris hanya terdapat Osamu S. Kanrei No. 6 yang berkaitan dengan lingkungan yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba , dan Balsem tanpa seizing dari Gunseikan, karena kita tahu jepang memang tak begitu memberikan dampak significant terhadap perkembangan hukum di Indonesia mengingat focus utamanya ialah sekedar pada orientasi militer dan perang, lain halnya dengan penjajahan belanda atas Indonesia, dimana telah dikenal beberapa peraturan yang keberadaanya mulai menunjukkan adanya kepedulian atau perhatian Hukum terhadap lingkungan sebagai onjek kajian dan perlindungannya, beberapa aturan tersebut diantaranya :
-          Undang-undang gangguan ( Hinder ordonantie) 1926

Undang-undang gangguan ( Hinder ordonantie stb. 1986 No. 226 yang terakhir diubah atau ditambah dengan stb. 1940 No.450) adalah peraturan yang mengatur jenis perizinan yang erat hubungannya dengan pencemaran lingkungan hidup sebelum berlakunya UU Tentang pengelolaan lingkungan hidup , ordonansi gangguan ini dapat dianggap sebagai salah satu peraturan yang berhubungan langsung dengan masalah pencemaran lingkungan di Indonesia,
Hanya saja secara substansial terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah Hinder ordonantie hanya dilaksanakan terbatas oleh daerah tingkat II kota madya atau kabupaten padahal jika menilik kajian tentang pencemarana atau kerusakan lingkungan maka tidaklah mengenal batas wilayah karena akibat dan dampaknya tidak hanya dialami oleh suatu wilayah saja, ditambah pada saat itu daerah tingkat II tidak memiliki cukup tenaga ahli yang mampu menilai secara teknis instalasi yang sifatnya kompeks, Hinder ordonantie pun hanya ditujukan pada bahaya, kerusakan atau gangguan yang timbul dari tempat usaha , jadi sumber pencemaran selain pabrik tidaklah terjangkau, misalnya : kendaraan bermotor, alat-alat yang memicu pencemaran , kelemahan lain dari Hinder ordonentie ialah sifatnya yang cenderung individual artinya ditujukan kepada gangguan yang ditimbulkan oleh perusahaan secara  mandiri dan tidak terhadap beban derita yang dibuat oleh pencemar secara kolektif, yang mana dalam pemberian izin tidak dipertimbangkan antara kemungkinan pencemaran yang dilakukan oleh satu perusahaan dan perusahaan lain secara kumulatif.
Dibidang kaitannya dengan perusahaan sendiri telah dikeluarkan pada masa itu berbagai peraturan lain yang berusaha untuk menutupi kelemahan dari Hinder ordonentie se-misal bedrijfsreglemenigsordonantie 1934 (stbl. 1938 No. 86 Jo Stbl 1948 No. 224), ordonansi dibidang satwa Dierenbeschermingsordonantie (Stbl 1931 No. 134) yang mulai berlaku pada tanggal 1 juli 1931, berkaitan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang perlindungan alam / natuurhermings ordonantie 1941 (Stbl 1941 NO. 167) dimana ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa / natuurnomumenten en reservatenordonantie 1932 (Stbl 1932 No. 17 )
                Ya itu bagian dari sekelumit puing-puing sejarah sebelum lahirnya UU No. 32 tahun 2009 yang menggantikan uu no 23 tahun1997, lantas setelah membahas jauh kebelakang maka kiranya sudah saat dimana kita coba untuk menelaah lebih jauh perihal hukum lingkungan dalam perspektif aturan tertulis dan memperbandingkan kinerja masing-masing undang-undang tersebut dalam peranannya menjamin dan melindungi eksiostensi serta keberlangsungan lingkungan hidup yang baik bagi manusia ( kita )

C.   Pembangunan Hukum Lingkungan Hidup


Titik balik perkembangan dalam pembangunan Hukum lingkungan terjadi setelah diundangkannya undang-undang no. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok  pengelolaan lingkungan hidup tertanggal 11 maret 1982 yang biasa dikenal dengan istilah UULH 1982, dimana undang undang tersebut jauh lebih bernilai environment law oriented, hal ini dapat pula dikatakan sebagai yang menandai awal pengembangan perangkat Hukum yang mendasari pengelolaan perihal lingkungan hidup di Indonesia , sebagai perwujudan upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup,

UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 1982
-          Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia
-          Pasal 5
1.       setiap orang mempunyai hak atas lingkungan  hidup yang baik dan sehat
2.       setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya

-          Pasal 7
1.       Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan

-          Pasal 22
1.       Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama –lamanya 10 (tahun) dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah)
2.       Barang siapa dengan kelalaianya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercermarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama –lamanya 1 (tahun) dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000.,- ( satu juta rupiah)

Pada titik ini saya coba untuk menganalisis mengingat titik ini dianggap sebagai titik balik, titik tolak dimana environment law oriented bermula lebih nyata di Indonesia, Undang-undang no 4 tahun 1982 jelas pada pasal pertama telah mengemukakan prinsip mendasar bahwa :
Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia
Beberapa point yang perlu kita garis bawahi ialah terminology pada pasal tersebut yang memang terdengar ideal namun masih rancu perihal maksud yang berusaha disampaikan, khas era orde baru penggunaan diksi jelas tak mengherankan mengingat ini ialah produk era orde baru, disamping itu ketidaktegasan maksud yang berusaha disampaikan undang-undang tersebut juga tercermin dalam beberapa pasal berikutnya, tolak ukur atau parameter yang digunakan perihal pencemaran lingkungan pun tidak secara gamblang di jelaskan meski undang-undang ini disertai pula ketentuan pidana sebagaimana pasal 22.
 namun sekali lagi saya tegaskan bahwa ketidakadaan pasal yang secara jelas memaparkan mengenai pencemaran lingkungan, ukuran persepektif atau tolak ukur yang digunakan  untuk menyatakan terjadi atau tidaknya suatu tindakan pencemaran lingkungan semakin menempatkan undang-undang ini pada posisi sulit untuk menjerat para pelaku yang berandil dalam pencemaran lingkungan, toh kita harus ingat bahwa ini undang-undang, bukan sebuah undang-undang dasar, katakanlah dalam sebuah undang-undang dasar memang hanya memuat pokok-pokok yang ingin diatur namun tentu tak demikian halnya dengan undang-undang yang harusnya lebih jelas memuat kisi-kisi yang ingin diatur dan bagaimana merealisasikan pengaturannya.
                Meski begitu, berbagai kelemahan UU no 4 tahun 1982 dapat dipahami dan tertutupi oleh karena beberapa undang-udang lain yang bermunculan setelahnya sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, sebagaimana UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, UU nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang,
Sejarah pun kembali bergulir, disadari bahwa permasalahan Hukum lingkungan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk Hukum yang tegas demi menjamin kepastian Hukum, disamping memandang perkembangan massive lingkungan secara global serta banyaknya aspirasi internasional yang juga ikut serta memberikan pengaruh dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dalam mempertimbangkan perkemba ngan tersebut maka dipandang perlu untuk menyempurnakan UU nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, lantas kemudian lahirlah Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan,
                Sejak runtuhnya rezim otoriter ( orde baru ) ditahun 1998 , Indonesia beranjak pada era baru yaitu reformasi dimana retorika berubah dan mengubah banyak hal, dimana salah satu perubahan itu ialah desentralisasi sebagai kontra system pemerintahan sentralistik sebagaimana yang diterapkan di era orde baru, diamandemennya undang-undang dasar Negara republic Indonesia 1945 pun perlu digaris bawahi terutama perubahan pada pasal 18 undang-undang dasar 1945,
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(5) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat
(6) pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
Lantas apa kaitannya dengan Hukum lingkungan ? saya tentu berharap anda (pembaca) memperhatikan betul point-point yang saya sajikan dan makna yang berusaha saya sampaikan bahwa tentu desentralisasi kewenangan sebagaimana tercermin pada amandemen konstitusi yang terjadi akan dan telah memberikan dampak luar biasa bagi perkembangan Hukum lingkungan, tidakkah kita menyadari jika konsep otonomi daerah selaku bentuk upaya desentralisasi kewenangan dari pusat pada pemerintah daerah telah mengalokasikan kewenangan pula perihal pengelolaan lingkungan hidup, dimana masing-masing daerah beserta alat kelengkapan pemerintahnya dapat secara lebih luas berandil dan bertanggung jawab mengenai pengelolaan lingkungan hidup didaerahnya,
                Sebagaimana pula yang diamanatkan dalam pasal 18 pasca amendemen pada ayat 6 menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan peraturan daerah dan tentu juga mengambil kebijakan dimana peraturan daerah dan kebijakan yang diambil oleh suatu daerah jika hal itu menyangkut lingkungan hidup maka akan menentukan bagaimana lingkungan hidup didaerah tersebut dapat dikelola dan dilestarikan demi terpenuhinya hak setip rakyat akan lingkungan yang baik dan sehat,
Dengan diberikannya kewenangan yang seluas-luasnya maka beban tanggung jawab daerah terhadap lingkungan semakin luas pula meski hal ini relaitanya tidak berbanding lurus dengan kebijaksanaan, yang justru seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan perihal lingkungan hidup, terlebih mengenai eksploitasi alam yang justru berdampak merusak.
                Menurut data dari jaringan advokasi tambang (JATAM) Kalimantan timur ada beberapa titik lubang yang ditinggalkan perusahaan tambang se-misalnya saja di kutai kartanegara (KUKAR)  kini ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya mencapai 838 hektar  dan ditinggalkan begitu saja, masih menurut kordinator JATAM , bahwa ketidak teraturan izin akan pertambangan tidak hanya berdampak pada satu daerah saja sepertihalnya yang terjadi di samarinda tepatnya kecamatan Samboja dimana pemerintah daerah memberikan 90 izin terhadap kegiatan pertambangan dimana dampak lingkungan yang ditimbulkannya juga berpengaruh ke kota Balikpapan melalui daerah aliran sungai (DAS),
Belum lagi terdapat pula 33 izin yang dikeluarkan kementerian ESDM dan keseluruhan 1.269 izin lain oleh pemda untuk mencabik perut bumi kaltim,

dan sudah dapat dipastikan jika dampak buruk dan pengaruhnya jelas akan luar biasa , mulai dari banjir , krisis energy, gangguan kesehatan karena pencemaran juga 4,4 juta hektar lahan yang dikapling izin untuk tambang batubara sehingga membuat lahan pertanian menyusut akibat ekspansi tambang, lantas pada titik ini saya bertanya, apa kita sudah mulai beralih untuk mencari pengganti nasi dengan mengkonsumsi hasil tambang perut bumi ?.
                Tidakkah dari hal yang dipaparkan diatas secara tidak langsung mengungkapkan bahwa sejak berlakunya otonomi daerah, fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di setiap daerah semakin hari semakin kompleks, hal ini mencerminkan jika pemerintah daerah belum sungguh-sungguh berkomitmen dengan pengelolaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di wilayahnya masing-masing, bahwa lingkungan dan sumber daya alam sekedar dipandang sebagai objek eksploitasi demi kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), sumber daya alam tak lebih dari derivative kebijakan ekonomi, sumber daya alam hanyalah bagian dari komoditas ekonomi untuk memperoleh keuntungan, belum banyak yang melihat bahwa sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas mendukung segala kegiatan yang berlangsung diatasnya termasuk kelangsungan hidup umat manusia,
Dalam konteks kewenangan dan pertanggung jawaban pemerintah daerah atas lingkungan hidup daerahnya maka saya cenderung beranggapan jika terdapat korelasi penegakkan Hukum dan keterkaitan antara pemerintah daerah selaku pejabat Negara dengan kewenangannnya dimana terikat  padanya pemberlakuan Hukum administrasi Negara dengan kelangsungan lingkungan dan pengaruhnya terhadap masyarakat dimana terikat padanya pemberlakuan asas-asas Hukum lingkungan, namun sebelum kita membahas lebih jauh maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai alur sejarah berikutnya yang kini bermuara pada lahirnya undang-undang no 32 tahun 2009.
                Prof. Dr. Ir. Herry suhardiyanto M.sc menyampaikan beberapa hal dalam pembahasan RUUPPLH, sebelum rancangan tersebut disahkan pada tanggal 8 september 2009 , bahwa sumber kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia banyak berpangkal pada dua masalah utama yakni masalah kelembagaan / structural dan lemahnya pentaatan Hukum, ada dua pula fakta penting yang membuktikan hal ini, pertama, studi terbaru yang diterbitkan KLH-DANIDA dan ditulis oleh Prof. Maria Sumardjono menyimpulkan 13 undang-undang yang mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam (termasuk undang-undang No. 23 tahun 1997) ternyata satu sama lain tumpang tumpang tindih dan tidak komplemen (saling melengkapi) bahkan cenderung sekedar menegasikan,
temuan ini tentu penting untuk dikaji dan disikapi oleh DPR, jangan sampai pada periode berikutnya undang-undang PLH yang baru justru hanya menambah kerumitan dan kompleksitas yang sudah ada, Kedua, hasil studi kementerian koordinasi perekonomian (2007) tentang daya dukung pulau jawa yang menyimpulkan bahwa salah satu penyebab terlampauinya daya dukung pulau jawa adalah masalah kelembagaan , sekitar 63 % Perda ( atau 176 perda  ) yang diterbitkan oleh gubernur, bupati, dan walikota se-jawa berorientasi ekstraktif terhadap sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan , sisanya 31 % ( atau 85 Perda) berorientasi kolaboratif dan hanya 6 % saja (atau 17 Perda ) yang berorientasi pada pengelolaan sumber daya alam.

Perbandingan Undang-Undang No. 23 Tahun  1997 Dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009


                Jika kita berusaha untuk memperbandingkan undang-undang No. 23 tahun 1997 dengan undang-undang No. 32 tahun 2009, maka secara implisit akan didapati beberapa perbedaan mendasar dan mencerminkan progresifitas Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, antara lain :
a.       Definisi tentang pencemaran lingkungan hidup           
b.       Definisi tentang perusakan lingkungan hidup
c.        Instrumen KLHS
d.       Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah
e.        Pendaya gunaan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana kaitannya terhadap hukum lingkungan
f.        Penegakkan hukum terpadu
Pencemaran Lingkungan
Definisi pencemaran lingkungan dalam undang-undang no. 23 tahun 1997 ialah “ masuk atau dimasukkannnya mahluk hidup , zat , energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yag menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannnya ”, sedangkan berdasarkan undang-undang No. 32 tahun 2009 bahwa pencemaran diartikan sebagai “ masuk atau dimasukkannya mahluk hidup , zat , energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan” apabila dicermati detailnya maka kita akan melihat perbedaan diantara kedua perundang-undanga tersebut,
-          Undang-undang No. 23 tahun 1997 pada definisinya tentang pencemaran lingkungan bertumpu pada parameter “ sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya,”
-          Sedangkan Undang-undang No. 32 tahun 2009 pada definisinya tentag pencemaran lingkungan bertumpu pada parameter “ sehingga melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan”


Pada undang-undang No. 23 tahun 1997 parameternya ialah sehingga kualitas lingkungan turun sampai pada tinggak tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya”, tidak dapat dipungkiri jika tolak ukur yang digunakan yakni “ tidak dapat berfungsi sesuai perunntukkannya” jelas rancu, dan jelas pula konsekuensi yang muncul saat masa bakti undang-undang tersebut, terlalu potensial untuk menimbulkan multitafsir antara aparat penegak hukum sehingga hakim menjadi sangat bebas dalam memaknai tentang pencemaran lingkungan hidup dan berakibat pada banyaknya kasus yang diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (oonslag),
Dan untuk mengatasi diskresi hakim yang begitu besar dalam memaknai pencemaran lingkungan hidup maka undang-undang No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran lingkungan sebagai “……masuk atau dimasukkannya……sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yag telah ditetapkan ”, dalam undang-undang No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup dibatasi pada melampaui atau tidak, baku mutu lingkungan hidup hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah maupun peraturan menteri LH, sehingga hakim terikat pada kriteria yang tetap pada baku mutu lingkungan hidup dan tidak dapat menafsirkan lain dalam memutuskan suatu perkara.
                Perbedaan lain ialah definisi kedua undang-undang tersebut tentang perusakan lingkungan hidup sebagai berikut :
-          Perusakan lingkungan hidup dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan
-          Sedangkan berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2009 mendefinisikan perusakan lingkungan sebagai “ Tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku lingkungan hidup,
Sekali lagi perbedaan definisi tersebut menunjukkan bagaimana kerancuan definisi dan tolak ukur yang digunakan dan atau dijabarkan oleh undang-undang No. 23 tahun 1997 telah diperbaiki dalam balutan aturan dengan definisi dan penggunaan tolak ukur yang lebih jelas, bersifat rigid oleh penetapan standar dan kriteria sebagai tolak ukur yang diharap mampu mempersempit ruang kerancuan dan meminimalisir multi tafsir dalam penegakkan hukumnya sebab jika demikian tentu yang terancam ialah keberlangsungan kelestarian alam/lingkungan sebagai imbas bila konstruksi hukum penjaminnya tidak mampu menciptakan kepastian.
Beberapa point penting dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 antara lain :
1.       Keutuhan unsure-unsur pengelolaan lingkungan hidup
2.       Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah
3.       Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup
4.       Penguatan instrument pencegahan , pencemaran , dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi instrument kajian lingkungan hidup strategis tata ruang , baku mutu lingkungan hidup , criteria baku kerusakan lingkungan hidup , perizinan, instrument ekonomi lingkungan hidup , peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup , anggaran berbasis lingkungan hidup , analisis resiko lingkungan hidup dan instrument lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
5.       Pendayagunaan perizinan sebagai instrument pengendalian
6.       Pendayagunaan pendekatan ekosistem
7.       Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global
8.       Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi , akses partisipasi , dan akses keadilan serta penguatan hak- hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungn hidup
9.       Penegakkan Hukum perdata , administrasi , dan pidana secara lebih jelas
10.    Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsive
11.    Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup
Undang-undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintah dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain, melalui undang-undang ini juga pemerintah member kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur sebagaimana dalam undang-undang nomor 23 tahun,
Oleh karena itu, lembaga yang dimandatkan beban kerja berdasarkan undang-undang ini perihal lingkungan hidup tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan tetapi dibutuhkan pula suatu instandi/organisasi dengan portofolio menetapkan , melaksanakan dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi , untuk menjamin terlaksanakannya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja Negara yang memadai untuk pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah,
Pergantian adanya undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengeloaan lingkungan hidup, secara filosofis undang-undang ini mencerminkan penghargaan akan arti penting hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga Negara, jika menilik kembali pada sejarah bahwa munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh rene cassin dalam perkembangannya juga memasukkan hak atas lingkungan yang sehat dan baik (The Right To Healthful and decent environtment) hal ini tak lepas dilator belakangi oleh adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industry ) yang sangat merugikan peri-kehidupan manusia.
                Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup pun telah dinyatakan dalam instrument hak asasi manusia , international covenant on economic, social ,and culture right (IECESR) namun pengakuan secara eksplisit-nya telah terkandung dalam deklarasi Stockholm dan deklarasi Rio sebagai non binding principe, dan di ikuti pula oleh konstitusi di beberapa Negara semisal afrika selatan, korea selatan, ekuador, hungaria, peru, Portugal maupun philipina, sedangkan sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia hak atas lingkungan yang sehat dan baik telah diakui dan terkandung dalam undang-undang nomor 4 tahun 1982 serta diklasifikasikan juga dalam aspek HAM sebagaimana ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia dimana salah satu pasal dalam deklarasi nasional tentang HAM telah menetapkan bahwa “ Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik” yang dalam perkembangannya ketika lahir undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dibab HAM dan kebebasan manusia maka perihal hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, ini berada dibawah ruanglingkup hak untuk hidup
                Undang-undang nomor 32 tahun 2009 juga memuat mengenai hal itu, memasukkan pula landasan filosofis tentang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi, ini jelas penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan tentu akan semakin kompleks dan syarat akan kepentingan para capitalist/investor, perlu pula disoroti bahwa dalam undang-undang nomor 32 tahun, AMDAL mendapat porsi yang cukup berperan dibandingkan instrument lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL,  meski pengertian AMDAL pada undang-undang nomor 32 tahun 2009 agak berbeda dengan undang-undang nomor 23 tahun 1997 yaitu hilangnya “Dampak besar” , jika dalam undang-undang nomor 23 tahun 1997 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup” , sedangkan pada undang-undang nomor 32 tahun 2009 bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup”,
Jika kita telaah secara terminologis tentu hilangnya kata “Dampak Besar” pada pengertian tentang AMDAL bagi saya dapat dipandang sebagai upaya untuk men-generalisir pengertian tersebut, bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak lagi bertolak pada makna “dampak besar” tanpa parameter jelas, bahwa tolak ukur suatu kegiatan atau usaha melakukan pencemaran atau tidak, melakukan kerusakan atau tidak, ialah pada ada atau tidaknya dampak bagi masyarakat terlepas dampak itu besar atau kecil dirasa,
bahwa berpotensi saja merusak atau mencemari sudah dapat seharusnya dilakukan pencegahan atas kegiatan dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh perusahaan atau siapapun, oleh perseorangan atau instansi manapun.
 Hal - hal penting baru terkait AMDAL sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 antara lain :
-          AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrument pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
-          Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL
-          Komisi penilai AMDAL pusat, provinsi maupun kab/kota wajib memiliki  lisensi AMDAL
-          AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan penting untuk penerbitan izin lingkungan
-          Izin lingkungan diterbitkan oleh menteri , gubernur , bupati / walikota sesuai kewenangannnya
Selain kelima hal tersebut, ada pula pengaturan tegas yang diamanatkan undang-undang nomor 32 tahun 2009 , yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL, pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut yaitu :
1.       Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha /kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
2.       Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi
3.       Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UKL/UPL

Setelah kita coba untuk menelaah pemaparan diatas, tentu undang-undang nomor 32 tahun 2009 secara substansial jauh lebih baik dan terperinci dalam mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup namun bila kita coba untuk mencermati lebih jauh, maka akan didapati masih banyaknya hal yang perlu untuk dikritisi sebab bebrapa aspek dirasa perlu untuk lebih lanjut dibenahi, semisal pasal 26 ayat (2) bahwa :
“ pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan ”
Dalam pasal ini tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimanakah bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya Hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tesebut tidak dilakukan , begitu pula dalam ayat (4)
“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL”
Juga lagi-lagi tidak diiukuti pula penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi masyarakat yang mayoritas awam dalam hal penegakkan prinsip Hukum lingkungan, tidak secara tersurat dipaparkan atas tolak ukur apa, pertimbangan apa, dan bagaimana masyarakat dapat menolak dokumen tersebut sehingga realitanya malah justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal permasalahan perihal Hukum lingkungan.
                Padahal ini sungguh ironis ditengah minimnya pemahaman masyarakat akan suatu undang-undang, seperti dikatakan oleh Tasdyanto Rohadi (ketua umum ikatan ahli lingkungan hidup) , survey terhadap tingkat pemahaman masyarakat terhadap undang-undang tersebut tak lebih dari 30% di daerah perkotaan,
Selain itu dari ketigabelas instrument pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU No.32 Tahun 2009 , diperkenalkan instrument baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya, yaitu kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana dan atau program ( Pasal 15 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009) namun demikian , tidak seperti halnya AMDAL yang disertai sanksi berat atas pelanggarannya, UUPLH tidak mencantumkan sanksi pula pada kegagalan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam realisasi prinsip KLHS.
Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, bahwa perlu digaris bawahi/ dicetak lebih tebal perihal komitmen pemerintah khususnya di daerah, yang masih kurang kepedulian dan focus mengenai masalah lingkungan hidup, dalam hasil survey yang dilakukan oleh sugeng suryadi syndicat menyatakan jika 47 % kepala daerah kurang peduli terhadap lingkungan hidup, cukup peduli 37  % dan hal yang juga ironis bahwa hanya 6,4% yang focus membenahi masalah lingkungan hidup.
                Namun hal lain yang perlu di kritisi tidak hanya tentang kepedulian pemerintah dan bagaimana buruknya kinerja birokrasi dalam melindungi kepentingan khalayak, jika menilik pada pasal 46 berbunyi :
“selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 , dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup ”
Satu hal yang dapat saya pahami ialah pada akhir-nya semua tanggung jawab untuk memulihkan kembali lingkungan yang rusak atau tercemar akan kembali pada pemerintah baik pusat maupun daerah, lantas saya coba untuk mempertanyakan bagaimanakah peranan pihak swasta atau siapapun yang sebenarnya adalah pelaku secara langsung pencemaran atau kerusakan yang terjadi ?, katakanlah yang mereka lakukan oleh karena buruknya kinerja birokrasi baik berupa izin yang keliru atau kebijakan-kebijakan pembiaran yang seharusnya tidak dilakukan atau setidaknya ada peranan pemerintah untuk mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup terjadi namun tentu tidak kemudian para pencemar / pihak swasta atau siapapun terlepas dari kebersalahan yang secara langsung dilakukan sebagaimana tidak pula disebut dalam pasal 46, hukum memang tidak boleh bersifat retroaktif, hukum tidak dikehendaki berlaku surut namun point penting yang harusnya kita pertanyakan ialah seberapa banyak kasus pencemaran dan atau kerusakan lingkungan mampu diadili pelakunya, mampu dituntut pertanggung jawabannya sebelum undang-undang nomor 32 pasal 46 ini diberlakukan ?, bagaimana dengan para investor asing yang sekedar menanam modal dan bermain cantik dengan membiarkan para putra bangsa mengeruk sumber daya alamnya sendiri, merusak tatanan alamnya dengan tangan mereka sendiri, seberapa jauh kita mampu menuntut pertanggung jawaban itu pada dalang dibalik layar perwayangan masalah ini ?.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar