HIDUP ?
THATS LIFE FOR ME ?
WHAT IS THE LIFE ?
original Writter by : Gusti D hedwic
WHAT DO YOU
MEAN ABOUT LIFE ? sebuah pertanyaan sederhana yang butuh lebih dari sekedar
intelegensi tapi juga penalaran hati untuk menjawabnya, dan akan makan ribuan
kosakata mendeskripsikan satu saja yang terlintas dalam pikiran kita……,
kehidupan hanyalah secerca lembaran kisah , bait-bait cerita tentang kita
….drama yang memaksa kita sejenak bertanya , “ lantas kita akan berperan jadi
apa ? ”.
Seiring perjalanan waktu melintasi setiap masa yang kutahu
dari revolusi hingga reformasi dan nyaris globalisasi yang hanya mengungkap satu demi satu retorika
serta problematika yang sebelumnya tak ada, sesuatu yang mereka sebut realita
meski sebenarnya omong kosong saja,
Entah bagaimana kita teracuni dengan semua persepsi yang
mereka jejali, deretan sudut pandang yang hanya arahkan kita pada rangkaian
kesimpulan bahwa inilah kenyataan, dunia
dimana uang, jabatan dan kedudukan adalah tolak ukur utama yang dapat membeli
senyuman,rasa segan , pujian dan penghormatan serta menciptakan sekat perbedaan
dan kesenjangan social antar satu dan lainnya dalam kehidupan,
Pernahkah terpikir ? hanya begini sajakah alur cerita yang
digariskan tuhan untuk manusia- manusia seperti kita….? Salahkah jika sejenak
saja kita berpikir menembus jagad raya , layangkan cita dan segenap impian kita
hingga batas cakrawala ?. itu segelintir hal yang salah tentang dunia kita ,
bahwa kita terlalu terpaku pada realita dan terjebak dalam keadaan nyata yang
mendikte kita tentang apa yang bisa dan dapat kita lakukan mengingat kita
hanyalah rakyat jelata, dianggap tiada daya, bahkan nyaris tiada guna….terus
hidup dengan kesempitan yang harus diderita,bahwa impian sekedar bagi mereka
yang terlahir dengan rentetan keberuntungan dengan uang, harta , juga kekayaan
dan tidaklah diperuntukan bagi mereka yang malang dalam lajur kemiskinan.
Tidak, impian adalah milik siapa saja yang mau
berusaha……hahaha, quote of the day …omong kosong yang seringkali jadi topping ,
sebatas aksen membosankan pada halaman terdepan sebuah majalah maupun Koran
atau kata ampuh para motivator untuk
meredam sejenak keluh dan memberikan audiens harapan semu,
Percayalah
semua kata-kata itu memang tak mengubah apa-apa, sebab sudah terlalu luar
biasanya doktrin “gila “ yang membudaya dalam cultural umat manusia sehingga
kita sungguh terperangkap dalam retorika yang membatasi langkah kita.
Kita terlahir sebagai seorang individu yang kemudian seiring
berjalannya waktu terbangunlah karakteristik humanistic yang merupakan result
atas segala pengaruh dan bagaimana sistematika hidup di sekitar kita, entah itu
keluarga atau orang-orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Disanalah kita
mulai mengenal tentang norma , kaidah dan aturan untuk menjadi pribadi dalam
sosialitas kehidupan ….. pondasi yang akan menopang kita secara psikologis
dalam kehidupan, lensa yang membuat kita dapat membedakan sekat antara ketidak
patutan dan kebenaran.
Dan pada tahap selanjutnya kita kemudian mempelajari semua
yang penalarannya lebih kepada hal-hal diluar diri kita, sekolah tempat dimana
kita belajar mengenal dunia dalam berbagai sudut pandang berbeda….. juga memahami sekat yang membuat satu dan
lainnya tak sama, darisanalah kita mengenal beberapa hal yang memang berbeda
bukan sesuatu yang dibuat berbeda dan bertoleransi serta menyikapinya sebagai
bagian dari retorika hidup
kita .
Namun
setelah semua proses panjang yang menjadikan kita Nampak seperti manusia
sesungguhnya, ras terhebat yang pernah ada, kita dihadapkan pada dunia yang
terlalu berbeda dengan semua ilustrasi buku yang selama ini mengajarkan kita
untuk menatap jauh……sebagai individu dewasa kita terpaksa mencerna ketidak
berdayaan kita menghadapi masalah lumrah yang menjadi batu sandungan para
pemimpi lain sebelum era kita, uang, gejolak keuangan, dan keharusan bekerja
demi kelangsungan hidup keluarga, sungguh dilema ! “dulu kutinggalkan dunia
untuk ilmu dan sekarang dunia yang menghampiriku” said hasan hito (ulama dunia
) hahaha……kita memang bisa saja meninggalkan seisi dunia untuk terus belajar
menuntut ilmu dan mengejar cita dan impian kita tapi pertanyaanya adalah
tegakah kita berpangku tangan atas nasib keluarga dan penderitaan yang mungkin
dialami mereka atas apa yang kita lakukan.
Ini adalah titik dimana kita terpaksa menyerah pada retorika
dunia ,sementara atau selamanya….tergantung pada tumpuan pilihan kita,namun
kita tahu bahwa dunia pada akhirnya hanya menyisakan segelintir saja yang dapat
bertahan dan melalui semua halang rintang yang ada. Sisa lainnya terseret arus
dan terbelenggu derasnya hingga ke hulu.
Tidak,
hidup tak hanya sekedar tentang menjalani alur yang ada dan menganggapnya
sebagai garis takdir kita, berjalan pada jalan sama seperti mereka lainnya,
pada sebuah ekspektasi rendah dengan terpaku meratapi semua ketidak berdayaan
kita menghadapi dunia dan jutaan goliath diluar sana.
Entah
bagaimana kita kehilangan hal terpenting dari hakikat kita sebagai
manusia,bahkan harusnya mereka para manusia mulai mempertanyakan masih
pantaskah sebutan itu melekat pada diri mereka,
Manusia kini hanya sekumpulan mahluk berkaki dua, yang
buta…..dapat melihat dunia tapi buta tentang arti keberadaan mereka sebenarnya
didunia,
Tidakkah retorika yang ada justru hanya mempersempit persepsi
dan sudut pandang kita tentang bagaimana memaknai hidup dalam keberadaan fana
kita di dunia,
Alasan/tujuan,hidup
= kebahagiaan = uang = kepentingan
diakui atau tidak sebagian besar orang memang mengartikan
hidupnya pada orientasi uang, mengaitkannya dengan alasan dan tujuan atas apa
yang dia lakukan dan menjadikannya tolak ukur kebahagiaan dan mendasarkan diri
sebatas demi terlaksananya kepentingan pribadi dan memikirkan bagaimana
khalayak setelah kepentingannya terpenuhi, sehingga dunia disesaki para tamak ,
tamak diri dan tamak hati meski mereka cukup licik untuk bergerak
sembunyi-sembunyi dan berlagak suci diantara masyarakat kini,
dan agak sulit untuk menilai seseorang dalam kriteria ini
mengingat sebenarnya mereka tak merasa begini, bahkan mungkin mereka atau kita
tak menyadari jika mind set-nya mengacu pada definisi yang telah kita sebutkan
tadi, memang tidak sepenuhnya salah jika sebagian besar kita berorientasi pada
uang , siapa mahluk dibumi yang tak butuh uang ? jika ada mungkin jawaban itu
berlumuran kemunafikkan, namun apakah kemudian uang cukup layak serta pantas
menjadi alasan maupun tujuan hidup dan apakah uang sungguh menjamin
kebahagiaan,
uang hanya lembaran
kertas yang keluar dari percetakkan, yang tak jelas siapa yang mnciptakan,
pikiran manusia sendiri yang sejak berabad-abad lalu membuat anggapan bahwa
uang sesuatu yang sangat berharga, tidak hanya sebatas pada anggapan tapi juga
tercermin pada kata dan perbuatan sehingga semua hal mengenai uang yang
dipermasalahkan sekarang adalah hal yang diwariskan,
sebagai alat tukar
uang memang memiliki jutaan kelebihan dibanding semua hal terdahulu yang jadi
tandingan, semua sepakat bahwa keberadaan uang memang sangat bermanfaat, namun
entah bagaimana dunia sendiri yang biarkan dirinya teracuni dan tidak lagi
memandang dan memberikan uang pada kedudukan sebagai sekedar alat dan media
pertukaran yang tak diragukan memiliki kemanfaatan pada kehidupan tapi tuas
yang menjalankan perputaran kehidupan , kita ibarat boneka mekanik sederhana
yang kemudian hanya bergerak jika tuasnya diputar sejenak, bahkan menempatkan
uang setara tuhan yang menentukan takdir umat.
Huh ! meskipun jika kita
menyadari sekarang, apakah kemudian itu cukup punya pengaruh ? tidak , kita
sudah terjebak dan terlanjur jatuh terlalu jauh, semua implikasi atas yang
kutulis ini hanya coba tunjukkan padamu jika dunia lebih dari sekedar yang kau
tahu,
Entah bagaimana setiap
hal kini tak terlepas dari uang, entah itu pekerjaan yang kita lakukan baik
perniagaan atau apapun yang semacam……mengarah pada sebuah tujuan untuk
mendapatkan uang, bisa dikatakan tak ada yang salah memang namun jika kemudian
kita jadi lebih beranggapan bahwa semua hal yang kita dapatkan didunia dalam
bentuk sandang, pangan atau papan adalah berkat keberadaan uang dan melupakan
bahwa yang menjadikan penting adalah usaha dan jerih payah yang kita lakukan ,
uang hanyalah konsekuensi atas semua yang kita usahakan…..uang adalah
kepantasan yang hak atas setiap kewajiban yang kita jalankan
Dalam masa kini
manusia tak segan terlibat pertempuran dengan lainnya untuk uang, uang pun
didaulat sebagai episentrum suatu keilmuan, dijadikan kajian pengetahuan yang
kemudian dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan…menciptakan sosok –sosok
berideologikan uang , mengubah kata dalam ungkapan montesque, “dari uang, oleh
uang , dan untuk uang “
“uang tak kenal
saudara “ pun ungkapan bodoh dan super tolol dari orang-orang yang hanya
mengedepankan dirinya diatas semua hal didunia, uang memang tak kenal saudara
…..karena memang uang hanya lembaran kertas , benda mati....sekedar metafora
yang tak personifikasi, tak mengenal saudara ? uang tidak, tapi apakah kemudian
kita juga tidak,?
Kita kemudian
mempelajari sebuah insting naluriah , insting khas manusia tentang bagaimana
mendapatkan uang…..dengan apapun cara dan jalan,
Tidak, aku tak
mengatakan bahwa kita harusnya tak butuh uang …… bagaimanapun kita memang
membutuhkan uang sebagai komoditi pemenuh kebutuhan, namun cobalah untuk
sedikit menghargai jerih payah yang telah kita lakukan….lebih menganggapnya
sebagai alasan utama terpenuhinya kebutuhan setelah doa dan kehendak tuhan,
hingga pada titik ini kita mampu menempatkan uang pada kedudukan yang
sepantasnya yaitu hanya sebatas media dan konsekuensi atau reward atas usaha
serta kerja keras kita,
Dari semua kata yang
coba ku ungkapkan tidakkah kita dapat menarik garis perak dari langit kelabu
kita untuk berhenti mengudara dan turun
sejenak terangi hati kita, bahwa kebahagiaan tak hanya tentang uang….tak
sepadan untuk sebuah tujuan keberadaan kita bukan ? saat bencana
datang….tsunami, badai topan atau apalah jenis lainnya yang begitu banyak kini
menantang eksistensi kelangsungan kita….apakah gundukkan uang sekalipun akan
meluluhkan alam sekedar berpikir dua kali untuk menghancurkan kita, memusnahkan
peradaban dunia.
Jangan
biarkan hal yang kita lakukan didasari alasan untuk uang
Jangan
biarkan hal yang kita lakukan didasari alasan untuk uang ? siapa yang dapat
menyangkal bahwa sebagian besar kita menjadikan uang alasan atas apa yang kita
lakukan dan hanya sedikit sekali yang mampu bijak mematri dirinya pada
alasan-alasan lumrah, meski sederhana namun lebih bermakna,
Cobalah sejenak
melihat sekitar kita, mungkin diantara bidang pekerjaan tertentu di luaran sana
atau yang mungkin sedang anda geluti saat membaca semua yang ku
utarakan,tidakkah sedikit terbersit tanya mengenai hal yang menjadikan alasan
atas apa yang mereka kerjakan….uang ? kurasa tak sulit bagi kita menyimpulkan
demikian dan mungkin hanya sedikit diantaranya yang memiliki alasan lebih mulia,
kurasa dunia memerlukan mereka…..orang – orang yang memang mengerjakan sesuatu
dengan tulus dan mungkin dengan alasan yang lebih anggun, untuk keluarga ?
membiayai sekolah adik-adiknya ? atau mungkin untuk membiayai dirinya agar
tetap dapat sekolah ?.
Agar pemaparan tak rancu kukira
perlu untuk kita lebih spesifik memandang pada dunia kerja sebagai implementasi
dan analogi tepat dalam menelaah permasalahan ini, juga adalah karena dunia
kerja memang identik berhubungan nyata pada perputaran dan regulasi uang
terhadap para pekerja sebagai subjek maupun objeknya,
Dunia kerja atau aku
lebih suka menyebutnya dunia orang dewasa karena dalam sudut pandangku tidak
satupun anak-anak dimanapun dan dalam keadaan apapun dapat terkehendaki untuk
bekerja meski pada kenyatannya pun tidaklah demikian namun entahlah aku hanya memberikan
skema ideal saja, berhenti sampai sana mungkin pertanyaannya adalah mereka yang
berbadan besar, usia setengah jalan, berpendidikan mapan ….. apakah itu cukup
mendeskripsikan apa itu dewasa ? bagiku tentu tidak.
Tidakkah mereka yang
mengaku dirinya dewasa dan telah berada dalam tahap bekerja justru mengajarkan
pada generasi – generasi penerus mereka tentang bagaimana bertindak bak hewan,
sekali lagi kukatakan jika tidak semua demikian namun sebagian besar kurasa
cukup memberikan pencitraan yang demikian, para pekerja yang saling
berkompetisi dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan masing-masing
individu mereka, bersyukurlah masih
tersisa segelintir orang-orang baik dengan tujuan mulia karena jika tidak
mungkin tuhan sudah membenamkan seisi kita kedasar kenistaan yang dalam,
Huh ! realita yang
mungkin disadari atau tidak berada diantara kita, mereka yang menyebut dirinya
dewasa sanggup saling menjatuhkan dan menghantam sesamanya dengan
hujatan-hujatan hanya agar mereka terlihat lebih baik dihadapan seseorang yang
mereka anggap memiliki kedudukan tinggi , seseorang yang mereka sebut
atasan….gila ! kurasa persepsi materialistis yang diciptakan uang juga
menjadikan sebagian orang-orang dengan keberuntungan dan harta kekayaan
disembah layaknya dewa.
Kembali pada permasalahan,
sungguh aku tidak mengatakan jika bekerja / melakukan sesuatu untuk atau dengan
alasan karena uang adalah sesuatu yang salah, hanya saja esensinya yang mungkin
patut dipertanyakan…..salah jika itu kemudian mengikis rasa persaudaraan ,
salah jika itu membuat kita menghiraukan sisi kemanusiaan yang semakin
menipiskan sekat perbedaan antara kita dengan hewan.
Meski kenyataan hidup
memaksa kita untuk bekerja dan mengharapkan sejumlah upah (uang) dari
perusahaan atas hal yang kita kerjakan namun kita bisa mulai mendidik diri kita
untuk menyisipkan tujuan mulia didalam pengharapan kita mengenai upah, mungkin
dengan tujuan demi kebaikkan keluarga dan orang lain diluar diri kita, juga
pada pemahaman bahwa atas berkah tuhan dan jerih payah kitalah semua yang kita
dapatkan bukan karena perusahaan , atasan atau mereka yang berada dipuncak
kedudukan karena apa yang mereka berikan adalah suatu kewajiban yang memang
harus mereka penuhi sebagai konsekuensi keuntungan yang mereka peroleh dari jerih
payah kita, jadi mereka tidak berada pada titik yang istimewa.
Istimewakanlah diri kita dan apa
yang kita usahakan dan lebih utamanya adalah menempatkan tuhan sebagai yang
pemberi segala sesuatu dalam hidup kita, dengan pemahaman dan dokrinisasi demikian
pada diri kita kurasa itu lebih dari cukup menjauhkan kita dari pennyembahan
terhadap manusia dan tindakan saling menjatuhkan diantara kita dalam dunia pekerjaan karena
sungguh jika kita mengharapkan citra baik dihadapan mereka yang kalian sebut
atasan bagiku adalah omong kosong belaka,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar