Sabtu, 15 Maret 2014

REALITA HIDUP, PERNAHKAH KITA SEKEDAR BERTANYA ?


HIDUP ?
THATS LIFE FOR ME ?
WHAT IS THE LIFE ?

original Writter by : Gusti D hedwic



WHAT DO YOU MEAN ABOUT LIFE ? sebuah pertanyaan sederhana yang butuh lebih dari sekedar intelegensi tapi juga penalaran hati untuk menjawabnya, dan akan makan ribuan kosakata mendeskripsikan satu saja yang terlintas dalam pikiran kita……, kehidupan hanyalah secerca lembaran kisah , bait-bait cerita tentang kita ….drama yang memaksa kita sejenak bertanya , “ lantas kita akan berperan jadi apa ? ”.
Seiring perjalanan waktu melintasi setiap masa yang kutahu dari revolusi hingga reformasi dan nyaris globalisasi yang  hanya mengungkap satu demi satu retorika serta problematika yang sebelumnya tak ada, sesuatu yang mereka sebut realita meski sebenarnya omong kosong saja,
Entah bagaimana kita teracuni dengan semua persepsi yang mereka jejali, deretan sudut pandang yang hanya arahkan kita pada rangkaian kesimpulan bahwa inilah kenyataan,  dunia dimana uang, jabatan dan kedudukan adalah tolak ukur utama yang dapat membeli senyuman,rasa segan , pujian dan penghormatan serta menciptakan sekat perbedaan dan kesenjangan social antar satu dan lainnya dalam kehidupan,
Pernahkah terpikir ? hanya begini sajakah alur cerita yang digariskan tuhan untuk manusia- manusia seperti kita….? Salahkah jika sejenak saja kita berpikir menembus jagad raya , layangkan cita dan segenap impian kita hingga batas cakrawala ?. itu segelintir hal yang salah tentang dunia kita , bahwa kita terlalu terpaku pada realita dan terjebak dalam keadaan nyata yang mendikte kita tentang apa yang bisa dan dapat kita lakukan mengingat kita hanyalah rakyat jelata, dianggap tiada daya, bahkan nyaris tiada guna….terus hidup dengan kesempitan yang harus diderita,bahwa impian sekedar bagi mereka yang terlahir dengan rentetan keberuntungan dengan uang, harta , juga kekayaan dan tidaklah diperuntukan bagi mereka yang malang dalam lajur kemiskinan.
Tidak, impian adalah milik siapa saja yang mau berusaha……hahaha, quote of the day …omong kosong yang seringkali jadi topping , sebatas aksen membosankan pada halaman terdepan sebuah majalah maupun Koran atau  kata ampuh para motivator untuk meredam sejenak keluh dan memberikan audiens harapan semu,
                Percayalah semua kata-kata itu memang tak mengubah apa-apa, sebab sudah terlalu luar biasanya doktrin “gila “ yang membudaya dalam cultural umat manusia sehingga kita sungguh terperangkap dalam retorika yang membatasi langkah kita.
Kita terlahir sebagai seorang individu yang kemudian seiring berjalannya waktu terbangunlah karakteristik humanistic yang merupakan result atas segala pengaruh dan bagaimana sistematika hidup di sekitar kita, entah itu keluarga atau orang-orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Disanalah kita mulai mengenal tentang norma , kaidah dan aturan untuk menjadi pribadi dalam sosialitas kehidupan ….. pondasi yang akan menopang kita secara psikologis dalam kehidupan, lensa yang membuat kita dapat membedakan sekat antara ketidak patutan dan kebenaran.
Dan pada tahap selanjutnya kita kemudian mempelajari semua yang penalarannya lebih kepada hal-hal diluar diri kita, sekolah tempat dimana kita belajar mengenal dunia dalam berbagai sudut pandang berbeda…..  juga memahami sekat yang membuat satu dan lainnya tak sama, darisanalah kita mengenal beberapa hal yang memang berbeda bukan sesuatu yang dibuat berbeda dan bertoleransi serta menyikapinya sebagai bagian dari retorika hidup kita .
                Namun setelah semua proses panjang yang menjadikan kita Nampak seperti manusia sesungguhnya, ras terhebat yang pernah ada, kita dihadapkan pada dunia yang terlalu berbeda dengan semua ilustrasi buku yang selama ini mengajarkan kita untuk menatap jauh……sebagai individu dewasa kita terpaksa mencerna ketidak berdayaan kita menghadapi masalah lumrah yang menjadi batu sandungan para pemimpi lain sebelum era kita, uang, gejolak keuangan, dan keharusan bekerja demi kelangsungan hidup keluarga, sungguh dilema ! “dulu kutinggalkan dunia untuk ilmu dan sekarang dunia yang menghampiriku” said hasan hito (ulama dunia ) hahaha……kita memang bisa saja meninggalkan seisi dunia untuk terus belajar menuntut ilmu dan mengejar cita dan impian kita tapi pertanyaanya adalah tegakah kita berpangku tangan atas nasib keluarga dan penderitaan yang mungkin dialami mereka atas apa yang kita lakukan.
Ini adalah titik dimana kita terpaksa menyerah pada retorika dunia ,sementara atau selamanya….tergantung pada tumpuan pilihan kita,namun kita tahu bahwa dunia pada akhirnya hanya menyisakan segelintir saja yang dapat bertahan dan melalui semua halang rintang yang ada. Sisa lainnya terseret arus dan terbelenggu derasnya hingga ke hulu.
                Tidak, hidup tak hanya sekedar tentang menjalani alur yang ada dan menganggapnya sebagai garis takdir kita, berjalan pada jalan sama seperti mereka lainnya, pada sebuah ekspektasi rendah dengan terpaku meratapi semua ketidak berdayaan kita menghadapi dunia dan jutaan goliath diluar sana.

                Entah bagaimana kita kehilangan hal terpenting dari hakikat kita sebagai manusia,bahkan harusnya mereka para manusia mulai mempertanyakan masih pantaskah sebutan itu melekat pada diri mereka,
Manusia kini hanya sekumpulan mahluk berkaki dua, yang buta…..dapat melihat dunia tapi buta tentang arti keberadaan mereka sebenarnya didunia,
Tidakkah retorika yang ada justru hanya mempersempit persepsi dan sudut pandang kita tentang bagaimana memaknai hidup dalam keberadaan fana kita di dunia,

Alasan/tujuan,hidup = kebahagiaan = uang = kepentingan
diakui atau tidak sebagian besar orang memang mengartikan hidupnya pada orientasi uang, mengaitkannya dengan alasan dan tujuan atas apa yang dia lakukan dan menjadikannya tolak ukur kebahagiaan dan mendasarkan diri sebatas demi terlaksananya kepentingan pribadi dan memikirkan bagaimana khalayak setelah kepentingannya terpenuhi, sehingga dunia disesaki para tamak , tamak diri dan tamak hati meski mereka cukup licik untuk bergerak sembunyi-sembunyi dan berlagak suci diantara masyarakat  kini,
dan agak sulit untuk menilai seseorang dalam kriteria ini mengingat sebenarnya mereka tak merasa begini, bahkan mungkin mereka atau kita tak menyadari jika mind set-nya mengacu pada definisi yang telah kita sebutkan tadi, memang tidak sepenuhnya salah jika sebagian besar kita berorientasi pada uang , siapa mahluk dibumi yang tak butuh uang ? jika ada mungkin jawaban itu berlumuran kemunafikkan, namun apakah kemudian uang cukup layak serta pantas menjadi alasan maupun tujuan hidup dan apakah uang sungguh menjamin kebahagiaan,
uang hanya lembaran kertas yang keluar dari percetakkan, yang tak jelas siapa yang mnciptakan, pikiran manusia sendiri yang sejak berabad-abad lalu membuat anggapan bahwa uang sesuatu yang sangat berharga, tidak hanya sebatas pada anggapan tapi juga tercermin pada kata dan perbuatan sehingga semua hal mengenai uang yang dipermasalahkan sekarang adalah hal yang diwariskan,
sebagai alat tukar uang memang memiliki jutaan kelebihan dibanding semua hal terdahulu yang jadi tandingan, semua sepakat bahwa keberadaan uang memang sangat bermanfaat, namun entah bagaimana dunia sendiri yang biarkan dirinya teracuni dan tidak lagi memandang dan memberikan uang pada kedudukan sebagai sekedar alat dan media pertukaran yang tak diragukan memiliki kemanfaatan pada kehidupan tapi tuas yang menjalankan perputaran kehidupan , kita ibarat boneka mekanik sederhana yang kemudian hanya bergerak jika tuasnya diputar sejenak, bahkan menempatkan uang setara tuhan yang menentukan takdir umat.
Huh ! meskipun jika kita menyadari sekarang, apakah kemudian itu cukup punya pengaruh ? tidak , kita sudah terjebak dan terlanjur jatuh terlalu jauh, semua implikasi atas yang kutulis ini hanya coba tunjukkan padamu jika dunia lebih dari sekedar yang kau tahu,
Entah bagaimana setiap hal kini tak terlepas dari uang, entah itu pekerjaan yang kita lakukan baik perniagaan atau apapun yang semacam……mengarah pada sebuah tujuan untuk mendapatkan uang, bisa dikatakan tak ada yang salah memang namun jika kemudian kita jadi lebih beranggapan bahwa semua hal yang kita dapatkan didunia dalam bentuk sandang, pangan atau papan adalah berkat keberadaan uang dan melupakan bahwa yang menjadikan penting adalah usaha dan jerih payah yang kita lakukan , uang hanyalah konsekuensi atas semua yang kita usahakan…..uang adalah kepantasan yang hak atas setiap kewajiban yang kita jalankan
Dalam masa kini manusia tak segan terlibat pertempuran dengan lainnya untuk uang, uang pun didaulat sebagai episentrum suatu keilmuan, dijadikan kajian pengetahuan yang kemudian dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan…menciptakan sosok –sosok berideologikan uang , mengubah kata dalam ungkapan montesque, “dari uang, oleh uang , dan untuk uang “
“uang tak kenal saudara “ pun ungkapan bodoh dan super tolol dari orang-orang yang hanya mengedepankan dirinya diatas semua hal didunia, uang memang tak kenal saudara …..karena memang uang hanya lembaran kertas , benda mati....sekedar metafora yang tak personifikasi, tak mengenal saudara ? uang tidak, tapi apakah kemudian kita juga tidak,?
Kita kemudian mempelajari sebuah insting naluriah , insting khas manusia tentang bagaimana mendapatkan uang…..dengan apapun cara dan jalan,
Tidak, aku tak mengatakan bahwa kita harusnya tak butuh uang …… bagaimanapun kita memang membutuhkan uang sebagai komoditi pemenuh kebutuhan, namun cobalah untuk sedikit menghargai jerih payah yang telah kita lakukan….lebih menganggapnya sebagai alasan utama terpenuhinya kebutuhan setelah doa dan kehendak tuhan, hingga pada titik ini kita mampu menempatkan uang pada kedudukan yang sepantasnya yaitu hanya sebatas media dan konsekuensi atau reward atas usaha serta kerja keras kita,
Dari semua kata yang coba ku ungkapkan tidakkah kita dapat menarik garis perak dari langit kelabu kita untuk  berhenti mengudara dan turun sejenak terangi hati kita, bahwa kebahagiaan tak hanya tentang uang….tak sepadan untuk sebuah tujuan keberadaan kita bukan ? saat bencana datang….tsunami, badai topan atau apalah jenis lainnya yang begitu banyak kini menantang eksistensi kelangsungan kita….apakah gundukkan uang sekalipun akan meluluhkan alam sekedar berpikir dua kali untuk menghancurkan kita, memusnahkan peradaban dunia.


Jangan biarkan hal yang kita lakukan didasari alasan untuk uang

        Jangan biarkan hal yang kita lakukan didasari alasan untuk uang ? siapa yang dapat menyangkal bahwa sebagian besar kita menjadikan uang alasan atas apa yang kita lakukan dan hanya sedikit sekali yang mampu bijak mematri dirinya pada alasan-alasan lumrah, meski sederhana namun lebih bermakna,
Cobalah sejenak melihat sekitar kita, mungkin diantara bidang pekerjaan tertentu di luaran sana atau yang mungkin sedang anda geluti saat membaca semua yang ku utarakan,tidakkah sedikit terbersit tanya mengenai hal yang menjadikan alasan atas apa yang mereka kerjakan….uang ? kurasa tak sulit bagi kita menyimpulkan demikian dan mungkin hanya sedikit diantaranya yang memiliki alasan lebih mulia, kurasa dunia memerlukan mereka…..orang – orang yang memang mengerjakan sesuatu dengan tulus dan mungkin dengan alasan yang lebih anggun, untuk keluarga ? membiayai sekolah adik-adiknya ? atau mungkin untuk membiayai dirinya agar tetap dapat sekolah ?.
                Agar pemaparan tak rancu kukira perlu untuk kita lebih spesifik memandang pada dunia kerja sebagai implementasi dan analogi tepat dalam menelaah permasalahan ini, juga adalah karena dunia kerja memang identik berhubungan nyata pada perputaran dan regulasi uang terhadap para pekerja sebagai subjek maupun objeknya,
Dunia kerja atau aku lebih suka menyebutnya dunia orang dewasa karena dalam sudut pandangku tidak satupun anak-anak dimanapun dan dalam keadaan apapun dapat terkehendaki untuk bekerja meski pada kenyatannya pun tidaklah demikian namun entahlah aku hanya memberikan skema ideal saja, berhenti sampai sana mungkin pertanyaannya adalah mereka yang berbadan besar, usia setengah jalan, berpendidikan mapan ….. apakah itu cukup mendeskripsikan apa itu dewasa ? bagiku tentu tidak.


Tidakkah mereka yang mengaku dirinya dewasa dan telah berada dalam tahap bekerja justru mengajarkan pada generasi – generasi penerus mereka tentang bagaimana bertindak bak hewan, sekali lagi kukatakan jika tidak semua demikian namun sebagian besar kurasa cukup memberikan pencitraan yang demikian, para pekerja yang saling berkompetisi dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan masing-masing individu mereka,  bersyukurlah masih tersisa segelintir orang-orang baik dengan tujuan mulia karena jika tidak mungkin tuhan sudah membenamkan seisi kita kedasar kenistaan yang dalam,
Huh ! realita yang mungkin disadari atau tidak berada diantara kita, mereka yang menyebut dirinya dewasa sanggup saling menjatuhkan dan menghantam sesamanya dengan hujatan-hujatan hanya agar mereka terlihat lebih baik dihadapan seseorang yang mereka anggap memiliki kedudukan tinggi , seseorang yang mereka sebut atasan….gila ! kurasa persepsi materialistis yang diciptakan uang juga menjadikan sebagian orang-orang dengan keberuntungan dan harta kekayaan disembah layaknya dewa.
                Kembali pada permasalahan, sungguh aku tidak mengatakan jika bekerja / melakukan sesuatu untuk atau dengan alasan karena uang adalah sesuatu yang salah, hanya saja esensinya yang mungkin patut dipertanyakan…..salah jika itu kemudian mengikis rasa persaudaraan , salah jika itu membuat kita menghiraukan sisi kemanusiaan yang semakin menipiskan sekat perbedaan antara kita dengan hewan.
Meski kenyataan hidup memaksa kita untuk bekerja dan mengharapkan sejumlah upah (uang) dari perusahaan atas hal yang kita kerjakan namun kita bisa mulai mendidik diri kita untuk menyisipkan tujuan mulia didalam pengharapan kita mengenai upah, mungkin dengan tujuan demi kebaikkan keluarga dan orang lain diluar diri kita, juga pada pemahaman bahwa atas berkah tuhan dan jerih payah kitalah semua yang kita dapatkan bukan karena perusahaan , atasan atau mereka yang berada dipuncak kedudukan karena apa yang mereka berikan adalah suatu kewajiban yang memang harus mereka penuhi sebagai konsekuensi keuntungan yang mereka peroleh dari jerih payah kita, jadi mereka tidak berada pada titik yang istimewa.
                Istimewakanlah diri kita dan apa yang kita usahakan dan lebih utamanya adalah menempatkan tuhan sebagai yang pemberi segala sesuatu dalam hidup kita, dengan pemahaman dan dokrinisasi demikian pada diri kita kurasa itu lebih dari cukup menjauhkan kita dari pennyembahan terhadap manusia dan tindakan saling menjatuhkan  diantara kita dalam dunia pekerjaan karena sungguh jika kita mengharapkan citra baik dihadapan mereka yang kalian sebut atasan bagiku adalah omong kosong belaka,
 

               






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar